Wabi Sabi adalah seni untuk bahagia hidup di dunia yang tidak sempurna. Walau filosofi ini berasal dari Jepang, masyarakat Timur seperti Indonesia sangat familier dengan konsep-konsepnya.
—
DUNIA modern yang serbacepat, serbaelektronik, dan serba-social-minded menjadikan hari-hari dipadati aktivitas melelahkan. Makin lama, rasa kemanusiaan terkikis, menyisakan sedikit waktu untuk menikmati hidup dan bercakap dengan diri sendiri.
Media sosial yang mempertontonkan kesempurnaan gaya hidup dan tampilan fisik mendorong setiap individu di atas muka bumi ini untuk menolak ketidaksempurnaan. Bahwa kehidupan, karier, cinta, rumah tangga, bahkan diri sendiri tak boleh memiliki cacat.
Akibatnya, kita selalu mengejar kesempurnaan yang semakin lama semakin jauh dan menghilang di dinding waktu. Kekecewaan atas karier yang tak sesuai impian, kemarahan atas relationship yang tak pernah imbang. Kecemburuan pada kehidupan di luar sana yang begitu mudah didapatkan, sementara diri sendiri terengah memenuhi kebutuhan standar.
Dibuka dengan paragraf-paragraf filosofis yang mudah dicerna, Wabi Sabi karya Beth Kempton –seorang Japanologist– menyebutkan bahwa kita lebih suka memberi perhatian melimpah pada selebriti dan iklan dibanding mengeksplorasi diri sendiri yang kaya (halaman 4). Inti dari Wabi adalah keindahan dan kesederhanaan, sementara Sabi adalah hal bertumbuh dan melapuk (halaman 14).
Dengan kalimat lain, kehidupan tidak hanya indah ketika ia cemerlang, unggul, dan megah. Namun juga indah ketika terlihat pudar, lemah, dan tak berkuasa. Apakah bulan hanya indah ketika purnama? Tidak. Bulan pun indah ketika berbentuk sabit. Begitu pun bunga tak hanya cantik ketika mekar, namun cantik ketika masih kuncup, bahkan ketika gugur.
Sabi merefleksikan penerimaan pada hal-hal yang bersifat tua, lapuk, pudar, dan tak sempurna. Betapa buruknya ketika manusia mengalami krisis kepercayaan diri lantaran terlalu melihat kesuksesan orang lain. ”…mengecilkan hal-hal yang kita kuasai, melebihkan kelemahan kita pada diri kita sendiri” (halaman 31). Seolah-olah, ketika melihat orang lain sukses, tidak ada lagi ruang kesuksesan bagi diri sendiri.
Bab-bab dalam Wabi Sabi terbagi dalam judul yang menjelaskan perkara penting manusia abad modern. Beberapa di antaranya adalah cara mengelola kegagalan, memupuk hubungan, hal karier, dan menikmati momen-momen berharga dalam hidup.
Dalam hal memupuk hubungan, misalnya. Betapa mudah saat ini orang terjebak toxic relationship dalam relasi cinta, antarrekan, atau relasi kekuasaan. Semua terasa kacau dan mudah meledak sewaktu-waktu yang menyebabkan kita cepat mengambil keputusan emosional, didorong kemarahan dan ego yang tak ingin dikalahkan.
Aturan ketenangan dalam bab ini benar-benar mengesankan. Pembaca bahkan diajak untuk menyelami bagaimana dalam situasi agresif yang memancing emosi negatif, orang Jepang memiliki cara sunyi dan jernih untuk mengatasi persoalan.
Tidakkah ini terdengar sangat ”myself”, betapa cepatnya diri menjadi marah dan melakukan hal negatif hanya karena sebuah posting-an di media sosial yang bahkan kita tak mengenal siapa yang mengunggahnya?
Wabi Sabi adalah seni untuk bahagia hidup di dunia yang tidak sempurna. Walau filosofi ini berasal dari Jepang, masyarakat Timur seperti Indonesia sangat familier dengan konsep-konsepnya.
Membaca buku ini membuat kita merenungi perjalanan hidup yang mungkin banyak gagal di beberapa titik dan bagaimana cara kita memilih untuk bahagia di dunia yang mudah lapuk dalam selimut fatamorgana. Uniknya, kita pun jadi tenang dan tercerahkan tentang bagaimana dunia karier di masa lima puluh tahun dari sekarang! (*)
*) SINTA YUDISIA, Pegiat literasi, founder Ruang Pelita, penulis dan psikolog
- Judul: Wabi Sabi, Seni Menemukan Keindahan dalam Ketidaksempurnaan
- Penulis: Beth Kempton
- Penerbit: Gramedia