JawaPos.com – Kementerian Perdagangan (Kemendag) berupaya mengurai problem distribusi yang berakibat pada kelangkaan minyak goreng di pasaran.
Bahkan, langkah menjemput ke produsen akan dilakukan untuk memperlancar pasokan ke konsumen.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan kembali memberikan peringatan kepada para produsen, distributor, dan produsen pengemas minyak goreng agar segera mengeluarkan stok yang dimiliki. ”Jika kami temukan pelaku usaha yang belum mengeluarkan stok minyak goreng, kami siap jemput dan distribusikan minyak goreng yang mereka miliki,” tegas Oke kemarin (22/2).
Selain itu, pihaknya mendorong distributor dan peritel meningkatkan kapasitas gudang untuk menampung minyak goreng. ”Ritel modern ini kan punya distribution center. Nah, ini dari kapasitas normal 25 juta liter akan coba dinaikkan jadi 50 juta liter. Harapannya, dengan mendobel kapasitas itu bisa memperbaiki kelancaran pasokan,” tambah Oke.
Sementara itu, kebijakan menerapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng dianggap tidak efektif. Harga memang turun, tapi minyak goreng justru kerap menghilang di pasar. Ada masalah distribusi sehingga berakibat pada kelangkaan.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menyatakan, intervensi pemerintah terhadap masalah minyak goreng membingungkan pelaku usaha. Pengusaha berada di posisi serbasalah. Jika menjual stok lama dengan HET, mereka akan rugi. Sementara itu, jika membiarkan di etalase dan menjual dengan harga pasar, mereka khawatir terkena sidak dan disanksi pemerintah.
Sebelum menerapkan HET, menurut Bhima, idealnya pemerintah sudah memiliki grand design soal distribusi. ”Bulog tidak bermain di minyak goreng. Jadi, rantai distribusi minyak goreng tidak dikuasai pemerintah,” ujar Bhima kepada Jawa Pos kemarin (22/2).
Menurut Bhima, stok-stok lama yang dimiliki pengusaha itu seharusnya dibeli pemerintah untuk kemudian didistribusikan sendiri. ”Selanjutnya, produksi yang baru diarahkan untuk dijual sesuai HET dan diberi subsidi jika ada selisih,” terang dia.
Selain opsi tersebut, Bhima mengingatkan bahwa kelapa sawit yang menjadi salah satu bahan baku minyak goreng merupakan komoditas hak guna usaha yang ditanam di lahan negara. ”Seharusnya pemerintah punya pressure ke perusahaan-perusahaan minyak goreng yang terafiliasi dengan CPO. Rekomendasi ekspor itu kan juga dibuat pemerintah,” ujarnya.
Dia menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Bhima menyarankan ada tindakan hukum bagi para penimbun dan pemain harga atau kartel. ”Cara-cara itu sebenarnya bisa digunakan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng,” tegasnya.
Terkait dengan sisi hulu atau produsen minyak goreng, Bhima menilai pemerintah perlu mencermati proporsi penguasaan pasar yang saat ini hanya dimiliki produsen besar. ”Saya kira untuk memperbaiki rantai distribusi, pertama harus bisa bongkar struktur produsen yang terlalu oligopoli. Jadi, idealnya dilakukan breakup supaya tidak ada penguasaan atau dominasi,” katanya.
Temuan-Temuan di Daerah
Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jateng mengungkap kasus peredaran minyak goreng palsu. Petugas mengamankan dua tersangka, yakni MNK, 39, dan AA, 51. Keduanya warga Desa Cendono, Kecamatan Dawe, Kudus. Mereka membuat minyak goreng palsu menggunakan campuran air bekas cucian mobil dan zat pewarna makanan.
Kapolda Jateng Irjen Pol Ahmad Luthfi menjelaskan, pengungkapan kasus itu bermula dari laporan korban di Mapolres Kudus Kamis (17/2) lalu. Lokasi kejadiannya terdapat di Desa Cendono, Kacamatan Dawe, Kudus. ”Minyak goreng palsu tersebut dijual kepada pengecer. Salah satunya pelapor, yakni pengusaha home industry kerupuk di Kudus,” jelasnya di Mako Ditreskrimsus Polda Jateng kemarin seperti dilansir Radar Semarang.
Polda Jateng kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan. Hasilnya, anggota ditreskrimsus mengendus keberadaan tersangka yang telah melarikan diri ke Cilacap. Kedua tersangka ditangkap tanpa perlawanan. ”Modus tersangka dengan menjual minyak goreng curah asli dulu. Kemudian, mencari untung dengan cara mencampurkan sedikit minyak asli dengan zat pewarna makanan dan air cucian mobil. Ini akal-akalan tersangka,” bebernya.
Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Jateng Kombespol Johanson Ronald Simamora mengatakan, pihaknya mengamankan barang bukti 1 jeriken berisi 7 liter minyak goreng curah asli, 20 jeriken (kapasitas 17 liter) berisi air putih campur pewarna, dan 5 jeriken (kapasitas 25 liter) berisi air putih. Selain itu, uang tunai Rp 600 ribu dan 1 bendel nota penjualan.
Menurut keterangan tersangka, lanjut Ronald, mereka telah melakukan aksi tiga kali pada bulan yang sama di daerah Pati dan Rembang. ”Dalam sekali melakukan pengoplosan atau pencampuran air dengan pewarna makanan hingga menyerupai minyak goreng, omzetnya mencapai Rp 5,6 juta sekian,” katanya.
Sementara itu, inspeksi mendadak dilakukan untuk mencegah penimbunan seperti yang terjadi di Deli Serdang, Sumut. Radar Mojokerto melaporkan, kemarin Satgas Pangan Kabupaten Mojokerto mendatangi sejumlah distributor resmi merek kenamaan hingga agen minyak goreng (migor) di wilayah Sooko.
Sekretaris Satgas Pangan Kabupaten Mojokerto Mokhamad Riduwan mengatakan, pemantauan rantai distribusi migor itu digelar menyusul menipisnya stok di pasaran. Petugas menyasar gudang distributor resmi PT Wings Surya dan dua agen migor di wilayah Sooko. Hasilnya, belum ada indikasi penimbunan. ”Alhamdulillah di gudang maupun agen tidak ada penimbunan. Setiap ada stok langsung dikirim ke penjual (pengecer),” terangnya.
Pasokan Kedelai
Aksi mogok imbas tingginya harga kedelai meluas. Di Bangkalan, produsen dan distributor tahu-tempe memilih mogok sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah. Sebelumnya, aksi serupa dilakukan sejumlah produsen tahu-tempe di Jabodetabek dan Surabaya.
Nawakib, distributor dan penjual tahu di Pasar Socah, mengungkapkan, komunitas pabrik, distributor, dan penjual tahu seluruh Indonesia sepakat memilih tak beroperasi selama tiga hari. ”Kami komunitas penjual tahu Jawa Timur sepakat mogok produksi tahu,” jelasnya kemarin seperti dilansir Radar Madura.
Mereka memilih mogok dan tidak memproduksi tahu lantaran harga kedelai semakin meroket. Selama pandemi Covid-19, tahu mengalami tiga kali kenaikan harga. Menurut dia, harga tahu bisa tetap, tapi ukuran semakin kecil daripada harga normal. ”Saya masih menjual tahu seharga Rp 2.000, tapi ukurannya saya perkecil,” tutur Nawakib.
Bukan hanya Nawakib, seluruh distributor dan penjual tahu di Bangkalan juga memilih libur. Sebab, seluruh pabrik tahu se-Jawa Timur tidak melakukan produksi sesuai dengan kesepakatan komunitas produsen tahu. ”Sepertinya, harga kedelai tidak dikontrol dengan baik oleh pemerintah. Akibatnya, korbannya masyarakat menengah ke bawah,” paparnya.
Sebulan terakhir, harga kedelai terus merangkak naik. Dari semula Rp 9.000 kini tembus Rp 11.400 per kilogram. ”Ketika harga bahan baku naik begini, mau ikutan menaikkan harga jual tak berani,” kata Sudarto, produsen tahu di Arjosari, sebagaimana diberitakan Radar Pacitan.
Meski dipusingkan dengan kenaikan harga kedelai, dia memilih tetap memproduksi tahu setiap hari. Sudarto juga tidak mengurangi volume produksi. Dia tidak ingin pelanggan setia kecewa. Namun, jika situasi tak berangsur membaik, keberlangsungan usahanya tentu dipertaruhkan.
Soal pasokan yang terganggu tersebut, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan menyatakan tidak akan berlangsung lama. Dia mengklaim sudah mengonfirmasi importir bahwa pasokan kedelai sampai bulan puasa dan Lebaran akan lancar.
Pemerintah saat ini masih mendiskusikan solusi agar produsen tahu-tempe dapat menurunkan biaya produksi. Menurut Oke, data Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo) menyebutkan bahwa stok untuk Maret sedang disiapkan. ”Stok aman untuk dua bulan. Stok tambahan datang Maret 2022,” jelasnya.