JawaPos.com – Rusia dan Ukraina mulai saling klaim diserang. Sabtu (19/2) dua tentara Ukraina tewas diserang pemberontak pro-Rusia. Senin (21/2) giliran Rusia yang menyatakan bahwa fasilitas mereka di Scherbakovo, Rostov, rusak karena serangan proyektil pasukan Ukraina. Bangunan tersebut dipakai oleh Layanan Keamanan Federal (FSB) Rusia yang berjaga di area perbatasan. Lokasinya dekat dengan wilayah Ukraina yang dikuasai pemberontak.
”Pukul 09.50, proyektil tak teridentifikasi yang ditembakkan dari Ukraina telah menghancurkan fasilitas perbatasan yang dipakai oleh penjaga perbatasan FSB di Rostov, sekitar 150 meter dari perbatasan Rusia-Ukraina,” bunyi pernyataan FSB Rusia seperti dikutip oleh The Moscow Times. Tidak ada korban jiwa dalam serangan tersebut.
Situasi di wilayah perbatasan Ukraina-Rusia dan area yang dikuasai oleh pemberontak kian tegang sejak Kamis (17/2). Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov menegaskan bahwa ketegangan di sekitar wilayah Ukraina Utara kini berada di titik puncak. Provokasi sedikit saja bisa memicu konsekuensi yang buruk.
Militer Ukraina langsung menampik tudingan Rusia tersebut. Versi Kiev, pasukan mereka sudah menerima perintah untuk tidak menyerang. Itu dilakukan agar ketegangan di wilayah perbatasan tidak meningkat.
Pemerintah Ukraina tidak ingin terprovokasi. Sebab, Kiev dan negara-negara Barat yang menjadi sekutunya meyakini bahwa serangan balik akan dijadikan alasan oleh Rusia untuk menyerang.
”Kami tidak bisa menghentikan mereka (Rusia, Red) membuat berita palsu tersebut, tapi kami selalu menekankan bahwa kami tidak menembaki infrastruktur sipil serta beberapa wilayah di Rostov atau area apa pun lainnya,” ujar Juru Bicara Militer Ukraina Pavlo Kovalchuk. Tudingan serangan oleh Rusia itu dinilai provokasi yang disengaja.
Versi Ukraina, saat ini justru ada 150 ribu tentara Rusia di perbatasan yang siap menyerang. Tidak ada pengurangan pasukan Rusia sama sekali seperti klaim Moskow belakangan.
Di lain pihak, Amerika Serikat memaparkan, jika Rusia menyerang, targetnya adalah beberapa kota sekaligus di luar Kiev. Yaitu, Kharkiv, Odessa, dan Kherson. AS sudah meminta penduduknya di Rusia menyiapkan skenario untuk pergi. Sebab, mereka berpotensi menghadapi intimidasi.
Tak sampai di situ. Berdasar surat yang dikirim AS kepada Kepala HAM PBB Michelle Bachelet terungkap, Rusia sudah memiliki daftar nama orang yang akan diburu. Dalam surat yang tak bertanggal itu, AS menunjukkan potensi pelanggaran lebih lanjut yang direncanakan Rusia. Yaitu, pembunuhan yang ditargetkan, penculikan atau penghilangan paksa, penahanan, dan penggunaan penyiksaan.
”Invasi Rusia ke Ukraina akan menciptakan bencana hak asasi manusia,” bunyi surat yang ditulis oleh Duta Besar AS untuk PBB Sheba Crocker tersebut seperti dikutip The Washington Post.
Mereka yang menjadi target adalah para pembangkang Rusia dan Belarusia yang kini mengasingkan diri di Ukraina, jurnalis, aktivis antikorupsi, etnis minoritas, serta kelompok LGBT. Ada juga informasi bahwa pasukan Rusia mungkin menggunakan tindakan mematikan untuk membubarkan aksi damai warga sipil.
Meski situasi kian tidak menentu, usaha negosiasi tetap berjalan. Presiden Prancis Emmanuel Macron mengusulkan agar Presiden AS Joe Biden menggelar pertemuan tingkat tinggi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Terkait hal itu, Gedung Putih menyatakan bahwa secara prinsip Biden setuju.
Tapi, ada syaratnya. Yaitu, Rusia harus dipastikan tidak menginvasi Ukraina sebelum pertemuan digelar. Format pertemuan itu akan diputuskan antara Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov. Mereka akan bertemu Kamis (24/2).
Kremlin di lain pihak menyatakan bahwa masih terlalu dini untuk menggelar pertemuan tersebut. Putin rencananya akan menggelar pertemuan dengan Dewan Keamanan Rusia. Versi Peskov, itu bukan pertemuan reguler, namun dia menolak memaparkan apa yang bakal dibahas. Dia juga menolak berkomentar apakah pemberontak Ukraina telah meminta bantuan ke Rusia.