Ini Bukan Lagi soal Uri-Uri Kebudayaan, melainkan Invasi Musik
Baik saat ngeband, nge-DJ, maupun sebagai penyelenggara festival musik, Ari Wulu konsisten mengolaborasikan gamelan dengan alat musik lain. ”Jangan takut gamelan kehilangan jati diri,” katanya kepada mereka yang mengkritik invasi musiknya.
FERLYNDA PUTRI, Jogjakarta
—
DI benak Ishari Sahida alias Ari Wulu, memperkenalkan Indonesia di luar negeri itu jangan tanggung-tanggung. Sekalian saja Indonesiakan dunia. Alias, menjadikan keindonesiaan sebagai bagian keseharian di penjuru bumi.
”Kalau orang Indonesia fasih memakai fuck you, misalnya, seharusnya anak-anak muda di Brooklyn, Amerika, juga lancar misuh ’asu!’” kata seniman asal Jogjakarta tersebut.
Salah satu cara Ari Wulu membawa Indonesia ke keseharian dunia adalah melalui gamelan. ”Tapi, saya tidak bisa nggamel,” ujarnya saat ditemui Jawa Pos di base camp Gayam16, Jogjakarta, pada 20 Januari lalu.
Yang dia lakukan adalah memadukan gamelan dengan musik elektro. Ari Wulu memang akrab dengan musik sejak kecil.
Papanya, Sapto Raharjo, merupakan seniman kontemporer yang erat dengan gamelan. Terutama gendang.
Sapto juga sejak dulu mengeksplorasi musik dari gamelan dengan teknologi. Poster-poster konser Sapto berjejer di Gayam16. ”Tapi, sejak kecil saya tidak pernah diajak ngobrol soal musik sama papa. Malah soal teknologi,” ungkap Ari Wulu.
Namun, sejak kecil Ari Wulu mengenali tempat atau benda dengan suara. Telinganya lebih banyak mendeskripsikan sesuatu ketimbang matanya. ”Misalnya, ketika ditanya kedai kopi, saya mendeskripsikannya suara orang ngobrol, bunyi mesin kopi, suara motor, dan musik yang lirih,” paparnya.
Meski di lingkungan pertemanan papanya banyak yang bisa nggamel, Ari Wulu muda justru lebih akrab dengan musik rock dan MTV. Pada 1992, saat masih duduk di bangku SMP, dia dan dua temannya membentuk grup band.
Tahun-tahun itu, jauh sebelum YouTube dan Spotify eksis, memang masanya anak nongkrong MTV. MTV menjadi jendela terdepan penghubung anak-anak muda di sini dengan jagat musik di luar sana.
Yang membedakan, Ari Wulu dan teman-temannya mulai memasukkan unsur gamelan. ”Ide memasukkan unsur gamelan ini berasal dari guru seni musik saya Pak Navi yang juga pengrawitnya Cak Nun (budayawan Emha Ainun Nadjib, Red),” ungkapnya.
Di sekolahnya, memang ada gamelan. Namun, perspektif pria kelahiran 1979 itu terkait dengan gamelan berbeda. Dia mendengarkan gamelan sebagai sumber bunyi yang bisa dikolaborasikan dengan alat musik lain.
Eksplorasi musiknya terus berlanjut. Pada 1996, Ari Wulu mulai bermain-main dengan alat musik Nusantara. Dia memasukkan unsur suara beragam alat musik dari berbagai wilayah dan dikolaborasikan dengan alat musik lain. ”Itu nggak lama karena sesudahnya kembali fokus ke gamelan. Sebab, alat yang ada ya itu,” ujarnya.
Meski hampir tak pernah berdiskusi dengan sang papa, Ari Wulu mengakui terinspirasi. Terutama dalam memadukan gamelan dengan alat musik lain. Sampai saat menjadi disjoki (DJ) pun, dia tetap memasukkan unsur gamelan.
”Pada 2005, saya mulai manggung sebagai DJ di Singapura dan Malaysia. Dan, pada 2010 saya membentuk kelompok musik elektro-gamelan,” jelasnya.
Tentu bukan dia yang memainkan gamelan. Ari Wulu awalnya hanya membayangkan suara dari gamelan, menuliskan nadanya, lalu meminta temannya yang pengrawit memainkan gamelan. Dia akan merekamnya. Selanjutnya, penghulu Gayam16 itu mengolahnya di laptop. Memadupadankan dengan suara dari benda atau alat musik lain.
Saat Jawa Pos bertandang ke tempatnya bulan lalu, dia sempat memperdengarkan salah satu musik yang diciptakannya. Dia menceritakan, ada karyanya yang dibuat dari bisingnya suara orang menggunakan gerinda potong. Ada juga musik yang memakai gamelan jogja yang dipukul dengan tempo yang cepat yang akhirnya membentuk suara gamelan bali.
Kini dia bersama Komunitas Gayam16 setiap tahun menyelenggarakan Yogyakarta Gamelan Festival (YGF). Event itu sebenarnya dipelopori Sapto dan Ari sebagai penerus di Gayam16 yang memiliki rasa tanggung jawab untuk melanjutkannya.
Hanya, dia mengembangkan pertunjukan tersebut dengan berbagai kejutan dengan melibatkan banyak pihak. Misalnya, pada penutupan YGF tahun lalu, ada pertunjukan robot.
Sebagaimana yang ditulis di website Komunitas Gayam16, YGF Ke-26 ditutup dengan penampilan kolaborasi gamelan robot dengan Saron Groove dan Youngster Gamelan16 Yogyakarta. Gamelan robot dikembangkan developer game di Jogjakarta, Arutala.
Perusahaan itu membuat sebuah aplikasi gamelan yang dimainkan secara virtual dengan memakai kacamata virtual reality (VR) Oculus. Orang yang memakai kacamata VR dan memainkan aplikasi ini seolah-olah memainkan gamelan secara langsung.
”Ini kali pertama Arutala berkolaborasi dengan komunitas kesenian. Sebelumnya, lebih banyak berkolaborasi untuk kepentingan bisnis dan perusahaan,” jelas Chief Product Officer Arutala Ambar Setyawan.
Menurut Ari Wulu, dirinya yang tak henti berusaha terus memadukan gamelan itu bukan lagi soal nguri-uri kabudayan (melestarikan kebudayaan). ”Tapi, ini invasi musik,” katanya serius.
Dia ingin menunjukkan, gamelan dimainkan bukan hanya untuk pertunjukan kebudayaan. Ari Wulu ingin gamelan ini juga bisa ”bergerak” seperti alat musik lain yang populer. Dia tak ingin memberikan jarak antara gamelan dan penontonnya.
Dia mengakui sering mendapatkan kritikan terhadap apa yang sudah dilakukannya. Apalagi, masih ada yang beranggapan bahwa gamelan tak bisa dikembangkan atau memiliki aturan yang saklek.
”Jangan takut gamelan kehilangan jati diri. Anak-anak sekarang itu lebih cerdas dan punya keinginan untuk mencari tahu akar dari suatu hal.”
Cita-citanya tak hanya ingin gamelan dikenal seluruh dunia. Ari juga ingin gamelan populer dan digandrungi. Bahkan menjadi keseharian orang-orang di pelosok dunia. Ya, seperti cita-citanya anak muda di Brooklyn fasih misuh ”asu!”