JawaPos.com–Gempa bumi dengan magnitudo 5,2 mengguncang wilayah Pacitan, Jawa Timur, pada Selasa (27/7 pukul 23.21 WIB. Demikian siaran informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Berdasar informasi BMKG melalui laman www.bmkg.go.id yang dilansir dari Antara gempa terjadi di kedalaman 10 km, pada koordinat 8.99 LS dan 111.40 BT. Pusat gempa diketahui berada pada 95 km arah tenggara Pacitan, Jawa Timur.
Getaran gempa dirasakan di sekitar wilayah Gunung Kidul dan Kepanjen dalam skala II Modified Mercalli Intensity (MMI), Tulungagung, Trenggalek, Blitar, Karangkates, dan Nganjuk, dalam skala III MMI, dan Pacitan dalam skala III hingga IV MMI.
Skala Mercalli merupakan salah satu satuan untuk mengukur kekuatan gempa bumi, terutama jika tidak terdapat peralatan sesimometer di tempat kejadian.
Pada skala II, getaran dirasakan oleh beberapa orang, benda-benda ringan yang digantung bergoyang. Sedangkan dalam skala III, getaran dirasakan nyata dalam rumah. Terasa getaran seakan-akan ada truk berlalu.
Adapun skala IV, pada siang hari getaran dirasakan oleh orang banyak dalam rumah, di luar oleh beberapa orang, gerabah pecah, jendela/pintu berderik, dan dinding berbunyi.
Tidak dilaporkan potensi tsunami akibat gempa tersebut. Namun, BMKG mengimbau masyarakat untuk waspada atas kemungkinan gempa susulan.
Sebelumnya, profesor riset Danny Hilman Natawidjaja menyatakan, pengembangan sistem peringatan dini Indonesia, yang dikenal sebagai Indonesian Tsunami Early Warning System (INA-TEWS), perlu disesuaikan dengan karakter gempa dan tsunami serta kondisi geografis wilayah di Indonesia yang sangat bervariasi.
”Desain TEWS harus rinci dan spesifik untuk tiap wilayah. TEWS yang efektif harus mempunyai desain teknologi berdasar kajian sains, tidak asal comot, dan asal pasang,” kata Danny Hilman Natawidjaja dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Selain itu, Danny mengatakan, mitigasi bencana membutuhkan pengetahuan sebaik-baiknya tentang karakteristik dan potensi dari sumber bencana alam itu sendiri. Jadi, mitigasi harus bersanding dengan riset dasar dan riset terapannya, seperti membuat peta-peta bahaya (hazard) dan risiko (risk).
”Program mitigasi bencana harus berbasis dan sejalan dengan sains dan riset,” tutur Danny.