JawaPos.com – Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengeluarkan peraturan kontroversial yang menyulut kemarahan publik. Dalam peraturan baru yang ditandatangani pimpinan KPK pada 30 Juli 2021, Peraturan Pimpinan KPK Nomor 6 tahun 2021 tentang Perjalanan Dinas di lingkungan KPK untuk kegiatan rapat, seminar, dan sejenisnya disebut ditanggung oleh pihak penyelenggara.
“Kebijakan ini membuka peluang berbagai pihak untuk merusak independensi KPK melalui pemberian fasilitas kepada pegawai KPK,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Selasa (10/8).
Padahal Pimpinan KPK periode-periode sebelumnya sangat menjaga agar tidak ada celah sedikitpun yang dapat mengganggu independensi dan bahkan dapat mendegradasi nilai-nilai integritas KPK, baik secara kelembagaan maupun personalnya. Selama ini, celah korupsi anggaran perjalanan dinas sebagaimana marak terjadi di instansi pemerintah lain ditutup dengan sistem at cost.
Kurnia memandang, KPK sebelum era kepemimpinan Firli Bahuri menyadari bahwa pihak pengundang nantinya dapat menyajikan berbagai fasilitas, mulai dari penerbangan kelas bisnis, penginapan mewah, penyambutan, antar jemput, dan treatment lainnya yang dapat mengarah pada timbulnya kedekatan, hutang budi, hingga berpotensi gratifikasi dan konflik kepentingan.
“Fenomena ini telah banyak kita temukan dalam perjalanan dinas pejabat dari lembaga negara lainnya,” ungkap Kurnia.
Dia menyesalkan, usaha Pimpinan KPK sebelumnya telah dirusak oleh Pimpinan KPK saat ini. Melalui Peraturan Pimpinan KPK yang baru, Firli Bahuri dan Pimpinan KPK lainnya telah membuka kontak pandora yang selama ini berguna untuk melindungi KPK dari berbagai potensi penyimpangan, dengan menggelar karpet merah pemberian fasilitas perjalanan dinas oleh pihak penyelenggara.
“Hal ini akan menjadi kesempatan bagi berbagai pihak untuk mempengaruhi dan membangun kedekatan dengan pejabat atau staf KPK, baik itu pihak-pihak yang perkaranya tengah ditangani KPK ataupun tidak,” cetus Kurnia.
Meski tidak mencakup perjalanan untuk melakukan penindakan, patut diantisipasi apabila upaya mempengaruhi KPK dilakukan melalui perantara yang menjadi penyelenggara kegiatan. Sesuatu yang sangat mudah dilakukan tentunya.
“ICW juga turut mempertanyakan pernyataan dari Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri, yang menyebut bahwa perjalanan dinas yang dibiayai oleh pihak lain ini tidak berlaku bagi pegawai bidang penindakan dan untuk pengundang dari pihak swasta. Jika dicermati lebih lanjut, pengecualian-pengecualian yang disampaikan oleh Ali Fikri tidak tertuang dalam peraturan tersebut,” ungkap Kurnia.
Poin bermasalah lain adalah Pasal 2B yang menyebut bahwa KPK dapat menugaskan pihak lain dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi KPK. ICW mempertanyakan, siapa pihak lain yang tidak pernah dengan jelas disebutkan dan bagaimana penugasan ini dilakukan.
Kurnia menyebut, KPK juga tidak menganalisis dampak atau resiko atas peraturan ini. Jika KPK menilai ada pihak lain yang seharusnya diundang oleh penyelenggara suatu kegiatan karena kapasitas atau latar belakangnya, KPK semestinya cukup menyarankan pengundang, tanpa harus menugaskan kepada pihak lain tersebut.
“Peraturan Pimpinan KPK ini juga kian menambah daftar panjang regulasi internal KPK yang penuh masalah. Sebelum aturan ini, terdapat PerKom 7/2020 yang menabrak UU serta menggemukkan struktur birokrasi KPK. Selain itu, ada pula Perkom 1/2021 yang memasukkan klausula Tes Wawasan Kebangsaan sebagai syarat pengalihan status kepegawaian,” urai Kurnia.
Dia menyebut, kemunduran KPK sebagai badan antikorupsi yang selama ini disegani oleh masyarakat semakin terlihat.
“Alih-alih berbagai peraturan itu mendorong reformasi kelembagaan, peraturan pimpinan KPK tentang perjalanan dinas menambah bobot kehancuran nilai-nilai integritas KPK,” tandasnya.