JawaPos.com – Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik mengakui pernah ikut membahas anggaran untuk Perumda Pembangunan Sarana Jaya. Pernyataan ini disampaikan saat Taufik memenuhi panggilan KPK pada Senin (10/8).
Legislator Partai Gerindra itu diagendakan sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Munjul, Pondok Ranggon, Jakarta Timur Tahun Anggaran 2019 untuk melengkapi berkas penyidikan dengan tersangka mantan Direktur Utama Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles dan kawan-kawan.
“Iya dibahas,” kata Taufik di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (10/8).
Dia tak menampik adanya pembahasan anggaran senilai Rp 1,8 triliun dalam pengadaan tanah di Pemprov DKI Jakarta. Tetapi dia mengaku, baru mengetahui kasus korupsi tanah Munjul ini dari pemberitaan media massa.
Dia menyebut, belum mengetahui materi apa yang bakal didalami penyidik saat memeriksanya hari ini. Taufik tak membawa dokumen apapun dalam pemeriksaan ini.
“Saya sih nggak bawa dokumen bukan bidang saya, kan di DPRD itu di bagi-bagi. Saya baru tahu ada di media, sejatinya DPRD tidak paham soal teknis, DPRD hanya penetapan awalan kemudian diserahkan kepada BUMD,” cetus Taufik.
Terkait pembahasan anggaran pengadaan tanah Munjul, sebelumnya Ketua KPK Firli Bahuri menemukan alat bukti berupa dokumen terkait pencairan dana untuk pembelian tanah di Munjul, Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Salah satu dokumen yang ditemukan untuk pembelian tanah itu mencapai Rp 1,8 triliun.
“Cukup besar yang kami terima, misalnya angkanya sesuai dengan APBD itu ada Surat Keputusan Nomor 405 itu besarannya Rp 1,8 triliun. Terus ada lagi Surat Keputusan Nomor 1684 itu dari APBD Perubahan sebesar Rp 800 miliar,” kata Ketua KPK Firli Bahuri di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (2/8).
Mantan Kapolda Sumatera Selatan ini mengutarakan, dokumen yang ditemukan itu menunjukkan uang tersebut diterima oleh Perumda Sarana Jaya yang merupakan BUMD Pemprov DKI Jakarta. Dia mengakui, kini pihaknya sedang mendalami peruntukan uang tersebut.
“Nah, itu semua di dalami,” tegas Firli.
Perkara ini telah menjerat lima pihak sebagai tersangka. Mereka antara lain mantan Direktur Utama (Dirut) Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pembangunan Sarana Jaya, Yoory C Pinontoan; Diretur PT. Adonara Propertindo, Tommy Adrian; Wakil Direktur PT. Adonara Propertindo, Anja Runtunewe dan juga menetapkan PT Adonara Propertindo sebagai tersangka korporasi. Serta Direktur PT. Aldira Berkah Abadi Makmur (ABAM) Rudy Hartono Iskandar.
Kasus ini bermula dari adanya kesepakatan penandatanganan Pengikatan Akta Perjanjian Jual Beli di hadapan notaris yang berlangsung di Kantor Perusahaan Daerah Pembangunan Sarana di hadapan notaris antara pihak pembeli yakni Yoory C Pinontoan selaku Dirut dari Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya dengan pihak penjual yaitu Anja Runtunewe. Hal ini berlangsung pada 8 April 2019.
Selanjutnya masih di waktu yang sama tersebut, juga langsung dilakukan pembayaran sebesar 50 persen atau sekitar sejumlah Rp 108,9 miliar ke rekening bank milik Anja Runtunewe pada Bank DKI.
Selang beberapa waktu kemudian, atas perintah Yoory dilakukan pembayaran oleh Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya kepada Anja Runtunewe sekitar sejumlah Rp 43,5 miliar. Uang miliaran rupiah itu diperuntukan, untuk pelaksanaan pengadaan tanah di Munjul, Cipayung, Jakarta Timur.
PDPSJ diduga dilakukan secara melawan hukum antara lain, tidak adanya kajian kelayakan terhadap objek tanah, tidak dilakukannya kajian appraisal dan tanpa didukung kelengkapan persyaratan sesuai dengan peraturan terkait dan beberapa proses dan tahapan pengadaan tanah juga diduga kuat dilakukan tidak sesuai SOP serta adanya dokumen yang disusun secara backdate.
KPK menduga, perbuatan para tersangka tersebut, telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 152,5 miliar.
Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.