JawaPos.com – Kemenangan Jorge Martin di GP Styria, Austria, Minggu malam (WIB) begitu luar biasa di lihat dari sisi manapun. Pertama, dia seorang rookie. Baru enam seri membalap di kelas MotoGP.
Atau yang lebih keren lagi, rider 23 tahun itu baru empat seri membalap lagi setelah mengalami kecelakaan hebat di GP Portugal.
Kedua, tentang kecelakaannya itu. Akibat insiden di Portugal tersebut, Martin mengalami patah tulang di delapan bagian tubuhnya. Bukan hanya itu, benturan keras di kepalanya mengakibatkan gegar otak cukup parah.
Dokter sampai harus menunda tiga operasi yang semestinya segera dilakukan untuk membenahi tulang-tulangnya. Untuk operasi penanaman metal pada tulang Martin, dokter harus menunggu kesadarannya membaik terlebih dahulu.
Butuh dua bulan bagi Martin untuk menyembuhkan cederanya. Alhasil, juara dunia Moto3 2018 itu harus absen di tiga balapan, yakni GP Spanyol, GP Prancis, dan GP Italia.
Karena itu pula, kesempatakan untuk segera beradaptasi dengan motor MotoGP menjadi semakin terbatas.
Namun potensi Martin sebagai rider tangguh MotoGP sudah tampak sejak musim ini baru dimulai. Secara mengejutkan dia sukses meraih pole position di edisi kedua GP Qatar.
Ingat! Itu baru balapan kedua Martin di kelas MotoGP. Pada balapan tersebut rider Spanyol tersebut sukses finis di podium ketiga.
Lalu faktor apa yang membuatnya bisa cepat klik dengan Ducati di MotoGP? Jawabannya dipaparkan langsung oleh Kepala Mekanik Martin di tim Pramac Ducati Daniel Romagnoli.
‘’Kami tahu Ducati punya keterbatasan dalam menikung. Jadi (motor) kami tidak secepat motor-motor lain di tikungan. Konsekuensinya, kami harus sempurna dalam pengereman dan akselerasi,’’ katanya.
‘’Nah, Jorge (Martin) sangat bagus dalam melakukan akselerasi. Karena dia pandai menemukan titik terbaik traksi ban. Jadi meski dalam speed corner tidak sebagus rider-rider yang menunggangi motor bermesin empat silinder segaris, Jorge sangat cepat seperti roket saat berakselerasi,’’ tambah Romagnoli kepada Motorsport Magazine.
Kelebihan itulah yang tidak dimiliki Danilo Petrucci, rider yang digantikan Martin di Pramac Ducati tahun ini.
Bukan perkara gampang bagi rider-rider Ducati menemukan momen yang pas untuk mengembalikan posisi motor ke posisi semula setelah keluar dari tikungan. Lalu menentukan seberapa torsi yang dubutuhkan untuk dialirkan ke roda dan di titik mana.
‘’Karena marjinnya sangat tipis. Jadi jika seorang rider merebah terlalu dalam 1-2 derajat saja dari kemiringan yang diperbolehkan, motor akan mengalami spin dan terseret ke samping (situasi itu akan menyulitkan saat berakselerasi). Apalagi ban Michelin yang punya karakter sangat sensitif,’’ tandasnya.
Martin selalu mengerahkan segala yang dia miliki saat mengendarai motor. ‘’Bagaimana dia menekan footpeg (injakan kaki) dan bagaimana dia mengangkat serta memberikan tekanan setang motor dengan teknik yang pas. Memang sangat rumit, tetapi dia memiliki bakat untuk itu,’’ tandas Romagnoli.
Satu lagi yang tak dimiliki rider lain tapi dipunyai Martin. Sensitifitasnya dalam merasakan perubahan setingan motor. ’’Saat mekanik mengubah lima milimeter geometri motor, banyak rider-rider MotoGP yang tidak akan merasakan perubahannya. Tapi Jorge, satu milimeter saja mekanik mengubah geometri motor, dia pasti akan merasakannya,’’ ucapnya.
Di luar masalah teknis, Martin juga punya keunggulan mental yang sudah terbangun baik. Lihat saja ketenangannya saat harus mempertahankan posisinya dari serangan juara bertahan MotoGP Joan Mir, nyaris di sepanjang paro kedua balapan GP Styria.
Dia tidak gugup, juga tidak bereaksi berlebihan. Justru Mir lah yang akhirnya melakukan kesalahan di tikungan 3 saat balapan menyisakan tiga lap. Motornya melebar, sehingga membuat jarak keduanya menjadi jauh.
Namun Martin tak lantas jumawa dengan hasil hebat di GP Styria. Dia merasa masih harus terus belajar mengembangkan motornya menjadi senjata yang ampuh di berbagai jenis sirkuit. ‘’Aku berharap bisa terus menjaga kemajuan ini. Belajar memahami motor dan terus berkembang,’’ katanya.