JawaPos.com – Komisi Pemberantasan Korupsi panen kiritik usai pimpinannya menerbitkan peraturan 6/2021. Ada yang menilai terbitnya aturan tersebut berpotensi konflik kepentingan. Adapula yang menilai, peraturan yang ditanda tangani Firli Bahuri Cs itu melegalkan praktik gratifikasi di lingkungan pegawai hingga pimpinan KPK.
Mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua bercerita, pada saat era kepemimpinan sebelum Firli Bahuri Cs, hampir semua pimpinan lembaga antirasuah berupaya keras menjaga nilai-nilai integritasnya. Ini dilakukan karena insan KPK menjadi contoh bagi lembaga lain untuk menjaga diri dari gempuran korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
“Dalam kode etik KPK dulu, insan KPK ketika melaksanakan tugas di lapangan, dilarang menerima bantuan dan fasilitas apapun dari pihak manapun. Sebab, setiap menjalankan tugas, insan KPK sudah dilengkapi fasilitas yang berasal dari APBN. Oleh karena itu, setiap perjalanan dinas, insan KPK tidak menggunakan sistem lumsum seperti masa orde baru. KPK menggunakan sistem at cost. Artinya, biaya perjalanan dinas disesuaikan dengan kwitansi yang ada. Dengan demikian, sisa anggaran perjalanan dinas harus dikembalikan ke KPK,” kata Abdullah kepada JawaPos.com, Senin (9/8).
Namun, seiring berjalannya waktu, kini KPK justru mengalami kemunduran. Bahkan beberapa pimpinan KPK pun kerap melanggar kode etik dan mengeluarkan kebijakan yang dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip antikorupsi.
Abdullah mengatakan, demi menjaga integritasnya, dulu dia kerap menolak pemberian apapun dari pihak lain, seperti panitia penyelenggara diskusi atau seminar. Bahkan saking dirinya menjaga nilai-nilai antikorupsi, sebotol air mineral yang disodorkan panitia pun dia kerap menolaknya dengan halus. Dia selalu menyediakan makanan dan minum sendiri untuk menghindari konflik kepentingan, gratifikasi atau suap.
“Soal tidak mau menerima minuman dari panitia ketika menjalankan tugas, saya dasarkan pada pasal 12B, UU Tipikor tentang Gratifikasi. UU mengatakan, gratifikasi adalah penerimaan sesuatu oleh PNS (pegawai negeri sipil) atau PN (penyelenggara negara) dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas. UU juga menetapkan, nilai gratifikasi sebesar 10 juta ke atas, maka penerima gratifikasi harus membuktikan bahwa hal tersebut bukan suap. Jika nilai gratifikasi yang diterima kurang dari 10 juta, maka jaksa KPK akan buktikan bahwa penerimaan tersebut adalah suap,” jelasnya.
“Nah, air mineral itu ada nilainya, katakanlah Rp 5 ribu rupiah yang berarti kurang dari 10 juta seperti yang dimaksud UU. Jika 1 juta PNS setiap hari terima 1 botol air mineral secara gratis, maka ada Rp 5 miliar rupiah uang yang dihabiskan. Maknanya dalam setahun ada 365 hari x Rp 5 miliar, yakni sebanyak Rp 1,825 triliun uang negara yang hilang,” tambahnya.
Baca juga: Minta Perdin Dibiayai Panitia, Eks Penasihat KPK: Bisa Gratifikasi
Abdullah melanjutkan, jika semua PNS melakukan hal yang serupa, maka berapa banyak pemborosan terhadap keuangan/perekonomian negara.
“Itulah filosofinya mengapa saya tolak air mineral yang disediakan panitia setiap saya jalankan tugas,” tukas Abdullah.