JawaPos.com – Indonesia patut berbangga diri atas raihan para atletnya di Olimpiade Tokyo 2020. Meskipun tidak memberikan medali sebanyak perolehan Amerika Serikat (AS) maupun Tiongkok, tapi segelintir medali yang dibawa ke tanah air bukti Indonesia mampu bersaing di ajang bergengsi internasional.
Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Pol Johni Asadoma yang juga mantan atlet tinju Indonesia di Olimpiade 1984 Los Angeles menyampaikan apresiasi tinggi kepada para atlet yang berlomba. Dia menilai atlet berprestasi sudah selayaknya mendapat hadiah yang besar.
“Bonus itu sesuatu yang wajar diberikan kepada atlet kita yang berprestasi,” kata Asadoma kepada wartawan, Sabtu (7/8).
Mantan Ketua Persatuan Tinju Nasional (Pertina) itu menjelaskan, ada 3 alasan atlet berprestasi harus diberi bonus besar. Pertama sebagai penghargaan atas jerih payahnya. Sebab, mendapat medali di olimpiade butuh kerja keras, tekad, komitmen dan kecerdasan intelektual.
Kedua, bonus besar bisa menjadi motivasi bagi para atlet nasional lainnya. Mereka akan sadar bahwa keberhasilan disebuah ajang bergengsi akan dihargai oleh pemerintah maupun swasta. Sehingga mereka akan berlomba-lomba menjadi juara.
“Kalau tidak dihargai malas lah atlet ini, orang tua tidak mendukung di olah raga. Orang tua lebih mendukung anaknya berkarir di seni, sinetron dan lain-lain. Ini kan bahaya. Tapi dengan penghargaan luar biasa, kemudian responsnya luar biasa dari masyarakat, ini betul-betul akan memotivasi,” kata Asadoma.
“Filipina saja Rp 11 M untuk 1 medali emas. Jangan pikir besarnya. Tapi kalau tidak ada Indonesia Raya berkumandang, Merah Putuh berkibar di sana (Olimpiade) malu kita. Bangsa keempat terbesar penduduknya di dunia. Sekarang sudah juara kita berikan mereka bonus sebesar-besarnya, sebanyak-banyaknya,” imbuhnya.
Alasan ketiga yakni, bonus besar bisa menjamin masa depan atlet. Sebagi mantan atlet Asadoma paham sekali jika pada masa lalu berkarir di olah raga tidak memberikan jaminan kesejahteraan hidup.
Kondisi itu pula yang membuat Asadoma berhenti menjadi atlet tinju dan banting setir menjadi anggota Polri. Tak sedikit atlet nasional yang hidup miskin pada hari tuanya. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan, agar tidak memperburuk dunia olah raga tanah air.
Dukung Cabor Tinju
Kendati demikian, sebagai peraih medali emas kelas layang Sea Games 1983 di Singapura, Asadoma tak memungkiri memiliki kesedihan tersendiri. Sebab, sudah 4 kali Olimpiade, Indonesia tidak bisa mengirim atlet cabang tinju. Padahal negara tetangga Filipina bisa mencapai partai final di cabang tinju.
“Saya tuh tadi juga kagum dan bangga dengan Filipina. Tapi saya juga sedih bagaimana mengangkat Indonesia itu butuh pekerjaan besar yang perlu dilakukan bersama-sama mulai dari tingkat Sasana, kabupaten/kota, pengurus provinsi sampai pusat,” kata mantan atlet tinju nasional itu.
Peraih medali emas Piala Presiden 1984 itu beranggapan Indonesia memiliki banyak bibit unggul atlet tinju. Namun, butuh pembinaan yang baik dan dukungan finansial dari luar pemerintah agar bisa memajukan olah raga ini.
“Sebetulnya banyak (bibit unggul) terutama kelas-kelas bawah, kelas ringan, kelas bulu, kelas layang, kelas terbang di bawah 60 kg itu sebetulnya banyak bibit kita. Kalau kelas di atas 60 itu kurang sekali karena postur kan,” ucap Asadoma.
Menurutnya, perbaikan pembinaan harus dilakukan dari tingkat bawah, mulai dari Sasana, kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Pembinaan di daerah memiliki peranan penting dalam pembentukan bibit atlet unggul.
Pasalnya, tingkat pusat hanya bertugas mematangkan atlet binaan dari daerah. Dengan cara mengirim atlet untuk berkompetisi di tingkat internasional.
Selain itu, butuh sokongan dana dari luar pemerintah untuk mensponsori calon atlet tinju. Sebab, anggaran pemerintah tidak akan cukup untuk mengurusi tinju. Mengingat masih banyak cabang olah raga lain yang juga membutuhkan dana operasional.