Akibat ketidaktahuan warga tentang prosedur pemakaman, Yuni Ardi Wibowo tak jarang menjadi korban omelan keluarga jenazah. Dia turun tangan menjadi relawan karena warga angkat tangan seiring dengan tingginya angka kematian akibat Covid-19.

ILHAM WANCOKO, Bantul, Jawa Pos

GUYONAN adalah cara ”menjungkirbalikkan” hidup. Menertawakan kesulitan tanpa bermaksud meremehkannya.

Melainkan agar mampu tegar menghadapinya.

Jadi, ketika ada peti jenazah yang harus dikuburkan dan Yuni Ardi Wibowo mempersilakan kawan-kawannya sesama relawan, ”Monggo yang mau ngersake (silakan yang mau)”, itu sama sekali bukan untuk menyepelekan jenazah. Candaan tersebut merupakan ”mekanisme pertahanan” dia dan kawan-kawan agar tetap bersemangat mengerjakan tugas yang berat dan berisiko itu. Berisiko karena yang dimakamkan Ardi dkk adalah para korban meninggal akibat Covid-19. Berat lantaran dalam bertugas mereka harus memakai alat pelindung diri (APD) yang sangat gerah di tengah cuaca yang beringsang. Itu pun masih dilapisi jas hujan.

Sebagai lurah di Bangunharjo, Sewon, Bantul, Jogjakarta, Ardi sebenarnya tak perlu mengerjakan semua ini. Tugas sehari-harinya sebagai lurah sudah cukup berat, apalagi pada masa pandemi ini.

Namun, dia tak bisa menutup mata ketika memasuki Juli lalu angka kematian di kelurahan yang dipimpinnya meningkat. Rukin atau memandikan jenazah yang biasanya dilakukan warga secara mandiri tak lagi berjalan. Warga mulai kewalahan dan kemudian angkat tangan. ”Karena itu, saya dan tim relawan yang menggantikan,” paparnya.

Dengan memakai APD yang menutupi seluruh tubuh, Ardi jelas tak mudah dikenali warga. Dan, memang itu yang dia harapkan agar bisa bekerja dengan leluasa. Namun, buntutnya, tak jarang dia menjadi korban semprotan keluarga almarhum/almarhumah. Rata-rata, karena tak memahami prosedur pemakaman pasien Covid-19, keluarga melontarkan protes.

Misalnya, ada anggota keluarga yang mengomel karena jenazah tak diberi kapas penutup lubang hidung, mata, dan telinga. Dalam tahap memandikan jenazah, tindakan itu memang biasa dilakukan, tetapi tidak untuk korban Covid-19. Dalam kondisi seperti itu, Ardi pun tak bisa berbuat banyak. ”Saya hanya bisa diam kalau diomeli,” tutur suami Nur Afna Istiqomah tersebut saat ditemui Jawa Pos di kantor Kelurahan Bangunharjo Senin (2/8).

Sesuai dengan prosedur, jenazah pasien Covid-19 langsung dimandikan dengan pakaian yang dikenakan, dikafani dengan kain mori, dan ditambah balutan plastik. Setelah itu, jenazah dimasukkan ke peti mati.

Saat angka kematian akibat Covid-19 memuncak, Ardi bisa menguburkan hingga delapan jenazah dalam sehari. Kondisi itu terjadi dalam beberapa hari saat kasus Covid-19 melonjak pada Juli lalu. ”Ada yang meninggal di rumah, ada yang di rumah sakit,” ujarnya.

Tantangan lain dalam menguburkan jenazah adalah waktu yang kerap kali mendadak. Dia menceritakan bahwa jenazah dari rumah sakit memang telah dimandikan petugas. Namun, biasanya pihak rumah sakit memberi kabar saat tengah malam. ”Bahkan, saya biasanya menunggu hingga pukul 02.00 untuk menguburkan jenazah,” ungkapnya.

Pernah suatu kali rumah sakit mengabarkan bahwa jenazah akan dikuburkan pada pukul 02.00. Saat itu keluarga jenazah yang membawa langsung ke pemakaman. ”Namun, ditunggu hingga subuh, tidak kunjung datang,” jelasnya.

Barulah pada pukul 07.00 keluarga memberi kabar bahwa jenzah bakal dikuburkan pada pukul 10.00. Tentu saja relawan terpaksa menunggu hampir seharian. Wajar kalau beberapa relawan menggerutu. ”Tapi, ya saya berikan semangat agar tidak kendur,” tuturnya.

TURUN TANGAN: Yuni Ardi Wibowo. (DOKUMENTASI KELURAHAN BANGUNHARJO)

Salah satu caranya ya lewat mekanisme pertahanan tadi: guyonan. Ardi juga tuwuk (kenyang) menjadi bahan guyonan relawan lain. Yang paling sering, dia dijuluki lurah yang urat malunya putus. ”Karena saya dekat dengan relawan, tidak membeda-bedakan. Saya juga diguyoni lurahe pedot (urat malunya putus),” katanya, lalu tertawa.

Dia tentu sering merasakan kewalahan dan kepayahan. Kalau sudah demikian, yang bisa dia lakukan adalah mengukur kemampuan diri sendiri. ”Kalau merasa tidak enak badan, saya izin off dulu. Kalau tidak salah, empat kali saya izin tidak ikut menguburkan,” ujarnya.

Dengan risiko tinggi terpapar Covid-19, dia selalu mengingatkan para relawan lain agar terus menjaga kesehatan. Bila merasa kurang fit, sebaiknya minta izin untuk tak ikut menguburkan jenazah. ”Apalagi, beberapa relawan sempat dinyatakan positif Covid-19. Tidak tahu terkena di mana,” jelasnya.

Bukan hanya soal menguburkan jenazah, beberapa waktu lalu kelangkaan oksigen juga membuat Ardi kelimpungan. Banyaknya warga yang isolasi mandiri (isoman) dan membutuhkan oksigen membuatnya melakukan berbagai cara. ”Cari oksigen tidak ada, saya ambil dari bengkel. Kebetulan, saya punya bengkel AC dan ada tabung oksigen juga,” paparnya.

Namun, begitu stok habis, Ardi harus kembali mencari oksigen dan berkeliling Jogjakarta. ”Saya juga sampai hubungi teman yang jadi anggota kepolisian. Piye carane entuk oksigen (bagaimana caranya mendapatkan oksigen),” ujarnya.

Bagi Ardi, dalam kondisi darurat seperti sekarang ini, saling membantu adalah kuncinya. Tanpa pamrih. ”Kalau ikhlas, nanti yang membalas Tuhan Yang Mahakuasa,” tuturnya.

By admin