JawaPos.com – Peta sebaran Covid-19 mulai berubah. Lonjakan kasus di Pulau Jawa kini makin kecil. Namun, kondisi sebaliknya terjadi di luar Jawa. Karena itu, Satgas Penanganan Covid-19 memberikan perhatian khusus pada sebaran kasus di luar Jawa.
Pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, gelombang tsunami Covid-19 sudah meninggalkan Pulau Jawa. ’’Sekarang giliran menyerang luar Pulau Jawa,’’ katanya. Dia menambahkan, bakal ada perbedaan kondisi gelombang tsunami Covid-19 antara di Jawa dan di luar Jawa.
Di Jawa, pertambahan kasus positif menunjukkan kenaikan yang tajam. Begitu pula penurunannya. Hal berbeda tampak di luar Jawa. Peningkatan kasus Covid-19 tidak sedrastis di Jawa. Puncak kurvanya akan mendatar alias tidak lancip. Artinya, puncak gelombang tsunami Covid-19 di luar Jawa berlangsung lebih lama dibandingkan dengan di Jawa. Turunnya pun butuh waktu. ’’Ini terjadi karena kepadatan penduduk di Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan di luar Jawa,’’ terangnya.
Lantas, ketika saat ini gelombang tsunami Covid-19 sudah keluar dari Jawa, apakah kelak kembali lagi? Yunis mengatakan tidak. Sebab, kekebalan masyarakat di Jawa, khususnya di Jakarta, sudah sangat tinggi. Kondisi itu disebabkan cukup banyak masyarakat yang sebelumnya terinfeksi Covid-19 kemudian sembuh. Selain itu, tingkat vaksinasi Covid-19 semakin tinggi.
Yunis juga mengomentari soal tingginya angka kematian Covid-19 saat ini. Menurut dia, kondisi itu merupakan bawaan dari gelombang tsunami Covid-19 yang terjadi pada awal Juli lalu. Seperti diketahui, pada waktu itu RS penuh. Hanya menangani pasien gejala berat dan sedang. Pasien bergejala ringan sampai sedang dianjurkan isolasi di rumah saja.
Dia juga berharap pemerintah serius mengawal standar penanganan Covid-19. Khususnya soal testing dan tracing. Jangan sampai ada kabupaten atau kota yang rendah tingkat testing dan tracing-nya agar tidak masuk dalam kategori level 4. Menurut dia, ketersediaan anggaran harus disiapkan sebagai konsekuensi peningkatan testing dan tracing tersebut.
Sementara itu, Ketua Satgas Nasional Penanggulangan Covid-19 Ganip Warsito memimpin rapat koordinasi kepala daerah untuk persiapan penanganan pandemi di luar Jawa-Bali. Rapat tersebut digelar di aula Kantor Wali Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (4/8).
Menurut Ganip, pembenahan harus dimulai dari hulu hingga hilir. Hulu yang dimaksud ialah penanganan terhadap pasien yang terkonfirmasi positif. Berdasar hasil positif tersebut, dapat digolongkan pasien yang termasuk OTG, bergejala ringan, sedang, hingga berat. Dari penggolongan tersebut, dapat diambil tindakan sesuai dengan treatment masing-masing. ’’Karena dari pengalaman penanganan di Jawa dan Bali, fatality kerap terjadi karena pemburukan. Pasien dibawa ke rumah sakit ketika sudah kritis. Kenapa, mungkin saat isoman tidak ada monitoring,” kata Ganip.
Menurut dia, penting untuk terlebih dahulu disepakati, mana yang boleh isoman, mana yang boleh isolasi terpusat, dan mana yang harus dirujuk ke rumah sakit. Isoman hanya diperbolehkan untuk pasien yang termasuk dalam golongan OTG dan bergejala ringan, usia di bawah 45 tahun, dan kondisi rumah serta lingkungan mendukung. Selain itu, pasien isoman di rumah harus mendapat pengawasan dari puskesmas.
Sementara itu, pasien dengan gejala ringan, usia lebih dari 45 tahun, dan memiliki komorbid bisa menjalani isolasi secara terpusat dengan mendapatkan monitoring dari para tenaga kesehatan. Terakhir, pasien dengan gejala menengah dan berat dapat dirujuk ke rumah sakit untuk menunjang penanganan lebih lanjut. ”Menurut saya, ini yang harus dibenahi dan disepakati semua pihak,” tegas Ganip.
Dia menambahkan, adanya pembenahan dari sisi hulu dapat meringankan beban di sisi hilir. Jumlah ketersediaan tempat tidur di rumah sakit untuk pasien Covid-19 bisa terkontrol dengan baik dan tidak terjadi overload. Tentu pembenahan itu harus dijalankan secara disiplin dan terus-menerus secara multipihak demi mempercepat penanggulangan pandemi di tanah air.
Vaksin Diusulkan Jadi Syarat BLT
Penanganan pandemi tak bisa dilepaskan dari dinamika ekonomi. Ekonom senior Chatib Basri menjelaskan, sebelum PPKM, yakni pada April–Juni lalu, mobilitas masyarakat terus bergerak, ekonomi pun bergeliat dan membaik. Namun, imbasnya, terjadi lonjakan kasus Covid-19 dan ekonomi kembali terdampak.
’’Persoalannya, kita selalu ada di dalam dilema. Mobilitas yang dibuka terlalu jauh memiliki risiko infected kasus yang naik. Sehingga pandeminya itu kemudian muncul lagi seperti sekarang. Kemudian harus diketatkan lagi,’’ ujarnya kemarin (5/8).
Baca juga: Usia Produktif Meninggal Akibat Covid-19, Pentingnya Deteksi Dini
Menghadapi dinamika tersebut, mantan Menkeu itu menyebut, penerapan prokes ketat menjadi kunci. ’’Saya mesti terus terang, disiplin kita tidak sebaik Singapura atau Vietnam. Tapi kalau disiplin berkurang, opsi kedua adalah vaksin yang dipercepat,’’ tambah Chatib.
Dia mengusulkan agar vaksinasi menjadi syarat penerima bantuan langsung tunai (BLT). Upaya itu diprediksi bisa optimal untuk menarik minat masyarakat mengikuti vaksinasi. Dengan begitu, misi pemerintah terkait pembentukan herd immunity secara nasional bisa lebih cepat terwujud.
”Saya ingin usul, kita kan punya bantuan sosial yang namanya BLT. Kenapa tidak sebagian dari BLT itu kita manfaatkan untuk conditional cash transfer atau bisa disebut cash for vaccine. Dengan begitu, proses akan lebih cepat,” tuturnya.