JawaPos.com – Penunjukan mantan koruptor menjadi komisaris di sebuah anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus menuai polemik. Kali ini, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mempertanyakan pengangkatan eks narapidana korupsi Izedrik Emir Moeis sebagai salah satu komisaris anak perusahaan BUMN.
“Predikat mantan koruptor adalah bukti otentik adanya cacat integritas, kenapa justru diangkat menjadi Komisaris BUMN? Menurut kami, melihat rekam jejaknya, Emir Moeis tidak memenuhi syarat materiil menjadi calon Komisaris yang akan menjalankan fungsi pengawasan terhadap BUMN,” ujar Juru Bicara DPP PSI Ariyo Bimmo kepada wartawan, Jumat (6/8).
Pada 2004, Emir Moeis yang kala itu merupakan anggota Komisi VIII DPR RI terjerat kasus suap terkait lelang proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Lampung.
Dia terbukti menerima suap senilai USD 357 ribu dari Konsorsium Alstom Power Inc yang mendaftar jadi salah satu peserta lelang. Akibat perbuatannya, Emir Moeis divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan penjara pada 2014.
PSI melihat pencalonan mantan koruptor sebagai komisaris di anak perusahaan BUMN merupakan salah satu praktik impunitas terhadap kejahatan korupsi dan pelakunya. Efek jera yang selama ini didengungkan tidak akan pernah efektif selama mantan koruptor masih bisa menduduki jabatan publik.
“Apakah di negeri ini tidak ada orang baik dan berkualitas yang layak menjadi petinggi BUMN? Kenapa harus mantan koruptor? Saya kira, perlu ada klarifikasi, transparansi dan bila mungkin koreksi untuk masalah ini,” katanya.
Lebih jauh Bimmo menambahkan, dari sisi manajemen berbasis risiko, terdapat kerawanan tinggi jika mantan koruptor diberi jabatan penting dalam BUMN.
Baca juga: Mantan Koruptor Emir Moeis Jadi Komisaris BUMN, ICW: Ini Pelanggaran
“Tidak ada jaminan seorang mantan koruptor tidak akan melakukan tindakan residifis di kemudian hari. Memberi posisi strategis kepada mantan koruptor di BUMN sama saja membuka peluang terjadinya korupsi yang lebih besar lagi. Ini sangat merugikan reputasi BUMN kita,” ungkapnya.