JawaPos.com – Anggota Fraksi PKS DPR RI Fahmy Alaydroes mengatakan, sebagian konten survei lingkungan belajar mendekati isu sensitif ke masalah agama tertentu dengan bungkus radikalisme dan intoleransi. Hal ini pun menimbulkan persoalan.
“Sejalan dengan survei itu, Kemendikbud begitu gegap gempita ‘memerangi’ radikalisme dan intoleransi di sekolah-sekolah. Bahkan disebut sebagai salah satu dosa besar Pendidikan. Seolah sekolah-sekolah kita sudah kerasukan paham dan perilaku radikalisme dan intoleran,” ungkapnya dalam keterangannya, Rabu (28/7).
Terdapat pertanyaan dalam survei tersebut seperti setuju atau tidak setuju apabila sekolah mewajibkan siswa-siswinya mengenakan pakaian sesuai aturan agamanya. Apabila memberikan pernyataan setuju, ada kekhawatiran individu langsung dicap sebagai radikal.
Baca juga: PPP Kritisi Survei Lingkungan Belajar Diduga Berbau SARA
“Atau, dianggap tidak toleran bila bersikap bahwa pimpinan politik (presiden, gubernur atau bupati) harus dari mereka yang beragama mayoritas. Alih-alih untuk menjadikan pendidikan kita berpijak kepada nilai-nilai Pancasila, survei ini malah cenderung menyerang agama,” tukasnya.
Survei lingkungan belajar ini adalah bagian dari Asesmen Nasional (AN) dengan maksud untuk masukan awal mengefektifkan pendidikan karakter, menumbuhkan iklim yang positif dan merujuk nilai-nilai Pancasila.
Pendidikan karakter mesti berpijak dan bersumber dari nilai-nilai agama, bukan mendangkalkan agama. “Kalau mau menjaring sikap radikalisme dan intoleran, harus didudukkan terlebih dahulu apa yang di maksud dengan sikap radikal dan intoleran menurut para pakar, termasuk juga dari para pakar agama,” terangnya.
Survei yang dilakukan secara diam-diam dan tertutup, tentu memunculkan kegelisahan di banyak kalangan. Terlebih, dasar hukum kebijakan survei masih bermasalah.
“PP yang mengaturnya adalah PP 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 46. Istilah AN baru muncul di PP, bahasa di UU Sisdiknas adalah evaluasi,” pungkasnya.