JawaPos.com – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi G. Sadikin menyetujui penghapusan pasal 425 pada Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan. RUU ini membahas mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.
Kemenkes meminta pembentukan Komite Kebijakan Sektor Kesehatan (KKSK) untuk diatur dalam pasal 426 tentang KKSK. Pembentukan KKSK sebagai lembaga baru dengan tujuan untuk melakukan koordinasi antar kementerian/lembaga yang diketuai oleh Menteri Kesehatan, yang beranggotakan Kemenkeu, Kemendagri, BPOM, BKKBN, BPJS Kesehatan. Sebagai Ketua, Menkes memiliki kewenangan yang cukup besar.
Hal itu disampaikan oleh Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar dalam sosialisasi RUU Kesehatan dengan topik “Transformasi Pembiayaan Kesehatan dengan Meningkatkan Koordinasi Kemenkes dengan BPJS” yang berlangsung hybrid di Hotel Gran Melia Jakarta, pada 30 Maret 2023. Turut hadir instansi terkait, akademisi, LSM, serikat pekerja.
Timboel menyetujui penghapusan pasal 425 dihapus dari RUU kesehatan. Timboel menyebut Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan sebaiknya dikelola untuk meningkatkan pelayanan peserta JKN. “Jangan sampai dana amanah masyarakat BPJS diintervensi” katanya.
Menurut Timboel, uang DJS jangan dipakai untuk program selain JKN. Ia mengusulkan RUU Kesehatan diubah menjadi RUU Sistem Kesehatan. Alasannya karena selain memuat banyak hal, dapat lebih fokus mendorong pelayanan kesehatan agar lebih baik dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) meningkat.
Akademisi Universitas Indonesia, Prof. Ascobat Gani menerangkan, kompensasi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ia meminta tata kelola third party administrator harus jelas, dan diatur dalam turunan regulasi, termasuk kompensasi bagi pelaksana. Ia mendorong adanyan penjaminan pelayanan kesehatan kebutuhan dasar yang harus memiliki standar khusus.
Akademisi, Prof. Hasbullah Thabrani menambahkan, perbaikan akses dan mutu layanan harus jadi tujuan utama RUU. “Karena sekarang masih jauh dari harapan. Penyebabnya, belanja kesehatan masih sangat kecil,” tambahnya.
RUU ini bisa lebih menguatkan pendanaan kesehatan yang memadai. Belanja kesehatan publik (belanja JKN, belanja pemerintah dan pemda) belum sampai 2% PDB dianggap belum memadai. Menurut Hasbullah, harus ada penghubung antara Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM).
“Selama ini yang sering saya amati, itu mendikotomikan UKP dan UKM. Harapannya, di RUU bisa lebih dijelaskan rumusannya,” tutur Hasbullah.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto menjelaskan, tugas BPJS sebagai eksekutor dan Kemenkes selaku regulator harus kembali ditegaskan.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Asih Eka Putri mengungkapkan, pada Pasal 417, ada pemaksaan regulasi untuk mengintegrasikan data SJSN dengan SKN. Perlu ada penjelasan tentang bagaimana tata cara mengatur regulasinya dan kajian cepat dari struktur materi muatan.
Ada materi muatan yang perlu dikoreksi, bahkan ia meminta Pasal 424 untuk dihapus. Asih juga mengkritisi Pasal 420, 425, dan 426. Menurut Asih perlu ada sinergi di Komite Kebijakan Sektor Kesehatan (KKSK) yang harus tertulis. “Tatanan regulasi jangan campur aduk dengan tatanan strategik dan tatanan operasional,” tutupnya.