KONTROVERSI rencana kedatangan tim nasional (timnas) Israel ke Indonesia yang menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 terus menggelinding membelah pendapat umum masyarakat. Bahkan, pada tahap tertentu, kontroversi ini dapat dikatakan mempertaruhkan citra Indonesia di mata masyarakat dunia.
Pihak yang menolak menjadikan sikap Israel yang acap tidak adil dan menjajah Palestina sebagai alasan penolakan terhadap timnas muda negeri Yahudi itu. Sedangkan Indonesia menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa dan mendorong dihapuskannya segala bentuk penjajahan di atas muka bumi. Sementara pihak yang mendukung timnas Israel bertanding dan datang ke Indonesia menggunakan alasan profesionalitas dan sportivitas yang sangat dijunjung tinggi dalam dunia olahraga, khususnya sepak bola. Terlebih lagi, Israel lolos ke ajang Piala Dunia Muda ini setelah melalui persaingan dan pertandingan antarnegara di babak kualifikasi.
Di tengah kontroversi, pandangan Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair Al-Shun baru-baru ini sejatinya bisa dijadikan pertimbangan yang sangat penting. Terlebih lagi, Indonesia selama ini dikenal berpegang teguh pada moralitas dan religiusitas.
Sebagaimana pernyataan resminya yang dikutip banyak media: ”Keikutsertaan masing-masing negara dalam event ini tidak ada kaitannya dengan suka atau tidak suka dengan suatu negara. Sebab, setiap negara ikut serta sebagai bagian dari kompetisi yang berjalan sesuai aturan yang berlaku.” Lebih jauh, Zuhair menegaskan bahwa dukungan Indonesia kepada Palestina tidak akan berubah meskipun mengizinkan Israel datang ke tanah air. Indonesia disebut selalu konsisten dan teguh dalam mendukung isu Palestina, baik dalam berbagai forum regional, bilateral, maupun multilateral (CNBC Indonesia, 28/3).
Titik Kritis
Di lapangan, konflik Palestina dan Israel belakangan berada pada fase yang sangat kritis. Tidak semata-mata karena kekerasan demi kekerasan terus terjadi di kedua pihak. Lebih daripada itu, karena kekerasan yang terjadi belakangan melibatkan ”rakyat” Palestina melawan ”rakyat” Israel. Beberapa aksi kekerasan yang terjadi di permukiman Israel di Tepi Barat bisa dijadikan contoh dari yang telah disampaikan.
Sementara secara politik internal, Palestina dan Israel berada dalam kerapuhan yang akut. Hal itu bisa dilihat dari ketidakkompakan kelompok-kelompok atau faksi politik di kedua negara. Untuk konteks Palestina, persaingan antara Faksi Fatah yang berkuasa di Tepi Barat dan Faksi Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza bisa dijadikan contoh dari kerapuhan internal Palestina. Friksi ini bahkan sudah menahun dan belum ada solusi permanen untuk menyatukan dua faksi utama ini, di samping juga faksi-faksi yang lain.
Sementara tantangan politik internal yang kurang lebih sama juga dihadapi Israel. Dalam beberapa tahun terakhir, hampir tidak ada pemerintahan yang stabil di Israel. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, tak kurang lima kali pemilu yang diadakan sebagai akibat dari ambruknya pemerintahan setelah terjadinya perpecahan di internal partai-partai koalisi yang membangun pemerintah.
Dalam beberapa hari terakhir, dunia diwarnai pemberitaan terkait aksi demo secara besar-besaran oleh penduduk Israel. Mereka menolak keras ambisi Perdana Menteri kawakan Benjamin Netanyahu terkait reformasi peradilan. Sebagian pihak di Israel menuduh ambisi dan proyeksi ini sebagai cara yang ditempuh Netanyahu untuk menyelamatkan diri dari tuduhan korupsi.
Tidak Terkait
Sebagaimana dikatakan Dubes Palestina di atas, penolakan terhadap timnas U-20 Israel di Indonesia tidak ada kaitan apa pun dengan perkembangan konflik atau politik yang terjadi, khususnya di internal Palestina. Tampil atau tidaknya timnas Israel di Indonesia, kondisi politik dan hukum Palestina tidak akan berubah semata-mata karenanya.
Secara jati diri internal Israel, penolakan di atas mungkin sedikit banyak ada dampaknya. Mengingat kondisi Israel dalam beberapa tahun terakhir berada dalam krisis elite yang berkepanjangan. Sebagian pihak mengkhawatirkan krisis itu bisa berdampak terhadap kepercayaan diri Israel sebagai bangsa.
Tapi, apakah hal tersebut secara otomatis akan membuat Palestina menjadi negara yang merdeka? Tentu saja tidak. Kemerdekaan Palestina berada di internal rakyat dan elite Palestina. Mendukung kemerdekaan Palestina sejatinya dilakukan secara konsisten untuk mewujudkan persatuan faksi-faksi internal sekaligus menguatkan kapasitas kenegaraan dan kebangsaan mereka.
Singkat kata, apa pun perkembangan politik dan konflik yang ada, sejatinya tidak dikaitkan dengan persoalan sepak bola yang identik dengan nilai-nilai sportivitas dan produktivitas. Terlebih lagi, Indonesia hanya sebagai tuan rumah yang dipercaya FIFA sebagai penyelenggara kegiatan ini.
Dalam sistem nilai dan keadaban yang senantiasa dipedomani oleh bangsa ini, sebuah kepercayaan harus dijaga dengan penuh saksama. Bahkan, kepercayaan harus dibalas dengan kepercayaan yang lebih baik lagi. Sementara nilai dan keadaban yang lain senantiasa mengajarkan kepada kita semua untuk menghormati tamu yang datang, siapa pun itu.
Dalam semangat nilai-nilai kebangsaan sebagaimana di atas, kita perlu berterima kasih kepada FIFA yang telah memberikan kepercayaan yang sangat tinggi ini. Selamat datang di Indonesia. Selamat bertanding untuk semua kontestan yang ada, termasuk Israel.
Walaupun menyambut baik kepercayaan dari FIFA ini (termasuk kedatangan timnas Israel di dalamnya), kami tetap mendukung kemerdekaan Palestina. Kami tetap berpegang teguh pada prinsip luhur yang termuat dalam pembukaan UUD 1945: ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” (*)
*) HASIBULLAH SATRAWI, Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam