JawaPos.com – Hari Film Nasional yang diperingati setiap 30 Maret disandarkan pada sejarah film berjudul Darah dan Doa (The Long March) yang merupakan karya sutradara yang kemudian dijuluki Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail. Film tersebut sejatinya bukan lah film pertama yang diproduksi di Indonesia, namun film tersebut adalah karya pertama yang diproduksi oleh orang sekaligus perusahaan Indonesia.
Mengacu pada sejarah itu, presiden ketiga RI BJ Habibie kemudian menetapkan 30 Maret sebagai Hari Film Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI No.25/1999.
Dalam momentum Hari Film Nasional, aktor senior Slamet Rahardjo meminta publik meneladani sosok Usmar Ismail. Bukan saja kiprahnya di dunia perfilman, namun juga sosoknya sebagai seorang yang sangat cinta tanah air dengan menjunjung tinggi semangat nasionalisme.
“Kalau dia bikin film sekarang, belum tentu filmnya lolos sensor. Ada bajingan dijadiin satu sama pahlawan, dijadiin satu sama penipu, dijadiin satu sama haji yang jadi mata-mata,” kata Slamet Rahardjo di bilangan Pancoran Jakarta Selatan, Kamis (30/3).
Menurut Slamet Rahardjo, Usmar Ismail membuat film melambangkan sisi dirinya yang dipenuhi dengan nilai-nilai positif.
“Saya bikin film tidak berkurang nilai nasionalisme saya, saya bikin film harus jalur bagus karena saya sastrawan, harus bisa dinikmati banyak orang. Kalau saya bikin film harus ada heroisme karena saya mayor angkatan darat,” kata Slamet Rahardjo menirukan perkataan Usmar Ismail.
“Ada orang kayak gitu sekarang? Mari kita berkaca pada beliau. Mungkin kita tidak bisa sebesar beliau, tapi minimal meniru lah. Jadilah anak Indonesia yang benar, masak (orang keturunan) China lahir di Jakarta masih dibilang China juga,” imbuhnya.
Slamet Rahardjo menaruh harapan besar orang perfilman bisa menjadi pejuang. “Aku harap orang film harus jadi warrior. Nah, warrior itu jangan jadi samurai, karena samurai ahli pedang yang punya juragan. Jadilah ronin (samurai tidak bertuan, Red) seperti Usmar Ismail,” tandasnya.