JawaPos.com – Kasus Covid-19 di India bisa turun hingga 10 kali lipat, begitu pula dengan angka kematian. Padahal pada April-Mei lalu, India kali pertama diserang ‘tsunami’ varian Delta dengan 400 ribu kasus sehari dan 5 ribu kematian dalam sehari. Apa kunci kesuksesan India?
Mantan Direktur WHO Asia Tenggara 2018-2020 dan pernah berkantor di New Delhi, India, Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan sebagai ilustrasi yakni melihat perjalanan situasi di India. Pada 15 Februari jumlah kasus baru harian di India adalah sekitar 9 ribu. Angka ini lalu terus meningkat dan pada 17 April kasus dalam sehari mencapai 261.394 orang. Artinya naik lebih dari 25 kali lipat. Pada 17 April New Delhi memberlakukan lockdown.
Sesudah itu, kasus masih terus meningkat sampai 414.188 kasus sehari pada 6 Mei 2021, dan sesudah itu berangsur turun. New Delhi baru mulai melonggarkan lockdown secara bertahap pada 31 Mei 2021, di saat kasus harian di India sudah 127.510.
Baca juga: Vaksinasi Masih Rendah, Kena Tsunami Covid-19 Delta, Kini India Dipuji
“Artinya sekitar separo dari kasus harian di awal mereka memulai lockdown,” katanya kepada wartawan baru-baru ini.
Prof Tjandra mengakui memang mungkin tidak terlalu tepat membandingkan kebijakan lockdown di New Delhi dengan angka harian di seluruh negara. Akan tetapi, lanjutnya, setidaknya dapat memberi gambaran kecenderungannya.
“Kalau kita melihat perbandingan New Delhi yang baru melonggarkan lockdown ketika kasus sudah separo dari awal mula lockdown, maka kalau mau digunakan batasan yang sama, maka kasus baru harian perlu turun sampai 13 ribuan, walau tentu kita dapat saja menggunakan dasar perhitungan lain untuk mengambil keputusan,” jelasnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah memutuskan melanjutkan PPKM level 4 sejak 2 Agustus sampai 9 Agustus 2021. Menurutnya ini adalah keputusan yang tepat mengingat situasi epidemiologik memang belum memungkinkan PPKM dicabut, walaupun memang cukup banyak rumah sakit di Jakarta dan beberapa kota besar di Jawa angka keterisian tempat tidur (BOR) turun.
Lantas, sampai kapan harus terus menerapkan PPKM? Menurutnya cukup banyak juga yang kemudian mendiskusikan sampai kapan PPKM akan diberlakukan serta kapan mulai dilonggarkan.
Menurutnya, hal itu tentunya akan bergantung dari data analisis risiko, yang mematrix-kan tingginya penularan di masyarakat dengan kemampuan respons pelayanan kesehatan, yang kemudian dikenal sebagai level 4, atau 3, atau 2 yang dapat menggunakan dokumen WHO ‘Considerations for implementing and adjusting public health and social measures in the context of Covid-19’ yang diperbarui pada 14 Juni 2021. Di sisi lain, kalau hanya melihat satu sisi, maka ada juga pihak yang menghubungkan dengan satu aspek saja, yaitu data epidemiologis jumlah kasus baru yang dilaporkan. “Kita bandingkan dengan data negara kita,” katanya.
Pada 15 Mei 2021 kasus baru harian di Indonesia adalah 2.385 orang. Angkanya terus meningkat dan pada 3 Juli 2021 dimulailah PPKM Darurat, yang pada tanggal itu angka kasus barunya adalah 27.913 (naik sekitar 10 kali lipat) dengan angka rata-rata 7 harinya sebesar 23.270 orang.
Sejauh ini kasus tertinggi terjadi pada sekitar 15 Juli dengan kasus 56.757 orang dengan angka rata-rata 7 harinya 44.145 orang, lalu ada kecenderungan menurun. Pada 2 Agustus ketika harus diputuskan kelanjutan PPKM level 4 maka kasus baru adalah 22.404 orang, seakan-akan lebih rendah dari awal PPKM darurat 3 Juli 2021, tetapi ternyata angka rata-rata 7 harinya masih jauh lebih tinggi, yaitu 38.295 orang. Artinya, keadaan 2 Agustus tidaklah lebih baik dari keadaan 3 Juli ketika awal PPKM darurat.
“Karena itu amat tepat kalau PPKM level 4 tetap diteruskan dulu. Kita harapkan kebijakan melanjutkan PPKM ini akan memberi manfaat penting dalam pengendalian pandemi Covid-19 di negara kita,” jelas Prof Tjandra Yoga Aditama.