Kesenian reog sudah mendarah daging pada diri Aiptu Sutrisno. Tugasnya sebagai aparat penegak hukum tak menyurutkan untuk selalu menghidupkan reog.
YUDHA FURY KUSUMA, Surabaya
CUACA Surabaya siang itu terasa begitu terik. Hari itu tak seperti biasanya yang sering mendung hingga hujan. Aiptu Sutrisno, Kanit Provos Polsek Tegalsari Polrestabes Surabaya, baru saja keluar dari kantornya menuju kantin. ’’Saya di dalam baru dapat arahan tugas dari pimpinan,’’ ujarnya membuka obrolan sambil mengambil tempat duduk.
Wajahnya tampak begitu cerah ketika diminta untuk menceritakan pengalamannya selama 49 tahun menjadi seniman reog. Dengan begitu gamblangnya, pria berkumis tebal itu menjelaskan sejarah reog Ponorogo hingga akhirnya bisa begitu jatuh cinta pada kesenian tersebut.
Sutrisno mengakui, dirinya sangat resah ketika ada orang Ponorogo, namun tidak mengerti reog. ”Reog bagi saya itu obat stres,’’ ujarnya sembari menyalakan rokok.
Reog, bagi Sutrisno, memang sudah mendarah daging. Seolah-olah dia punya prinsip di mana pun tempatnya harus melestarikan kesenian reog.
Termasuk di Surabaya. Gara-gara kota inilah dia dikenal di kalangan seniman dan punya nama panggung Ki Warok Sutrisno.
Punya julukan bukan hal yang mudah. Asam garam sudah pernah dirasakan. Tapi, konsistensinya merawat dan melestarikan kesenian reog begitu kuat. Sampai-sampai rumahnya di Jalan Jeruk, Desa Wage, Kecamatan Taman, Sidoarjo, dibuat sanggar. Sutrisno memberi nama sanggar itu Simo Joyo Katong.
Di tempat inilah, semua peralatan reog ada. Mulai dadak merak, seperangkat gamelan, hingga pakaian-pakaian, semuanya komplet. ”Ya, namanya sudah jiwanya. Ada uang, beli sedikit-sedikit. Sekarang terkumpul, semua ada,’’ katanya.
Bapak dua anak itu bercerita, menggeluti seni reog di Surabaya dimulai sekitar 1990-an. Tahun-tahun pertama dia ditugaskan menjadi polisi di Surabaya. Pada suatu waktu, Polda Jatim menggelar acara yang disisipi pertunjukan reog.
Melihat pertunjukan reog, jiwa kedaerahannya muncul. Seusai acara, dia menghampiri para seniman reog itu. ”Dari situ saya dengar ada organisasi reog di Surabaya, namanya Purboyo. Dari situ saya punya kenalan,’’ ungkapnya.
Sutrisno kemudian bergabung di grup Purboyo. Awal-awal dulu dia hanya dijadikan seksi keamanan. Ketua Purboyo, kata dia, menempatkan dirinya sebagai seksi keamanan karena berprofesi polisi. ”Pelan-pelan kemudian naik. Sekarang saya jadi penasihat,’’ ucapnya.
Di kalangan seniman reog, Sutrisno sekarang memiliki panggilan istimewa, Bopo. Bopo merupakan sesepuh atau orang yang dituakan dalam suatu kelompok kesenian reog. Nah, di sinilah Sutrisno menorehkan prestasi. Tak tanggung-tanggung, peringkat kedua pada Festival Reog Se-Indonesia pernah disabetnya.