Paparkan Dugaan Transaksi Mencurigakan Kemenkeu di DPR
JawaPos.com – Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) Mohammad Mahfud MD membeberkan sejumlah fakta dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR di Jakarta kemarin (29/3).
Menurut dia, tidak semua data dan informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait transaksi mencurigakan Rp 349 triliun sampai kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Berdasar runutan penjelasan dan keterangan terakhir yang disampaikan Sri Mulyani kepada Komisi XI DPR, Mahfud menyimpulkan bahwa menteri perempuan yang akrab dipanggil Ani itu tidak memiliki akses terhadap data dan informasi dari PPATK. ”Kesimpulan saya, Bu Sri Mulyani tidak punya akses terhadap laporan-laporan itu. Sehingga keterangan yang terakhir pun di Komisi XI DPR itu jauh dari fakta,” beber dia di hadapan legislator Komisi III DPR.
Mahfud yakin bukan maksud Sri Mulyani menyampaikan data dan informasi yang tidak sesuai fakta. Tapi, data dan informasi itulah yang dia peroleh dari anak buahnya. Keyakinan tersebut muncul lantaran selama ini Sri Mulyani bekerja dengan baik. Salah satunya ditunjukkan melalui Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI). ”Sehingga saya percaya dia (Sri Mulyani, Red) menteri keuangan terbaik. Tetapi, akses dari bawah ndak masuk,” ucapnya.
Akses dari bawah yang dimaksud Mahfud adalah akses terhadap data dan informasi dari PPATK. Pejabat asal Madura itu melihat, Sri Mulyani tidak mendapat data dan informasi secara utuh dari anak buahnya. Misalnya terkait dengan transaksi mencurigakan Rp 189 triliun berdasar data pada 2017–2019. Menurut Mahfud, angka tersebut sempat dipertanyakan oleh Sri Mulyani dalam rapat bersama PPATK yang turut dihadiri pejabat eselon satu di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Saat itu, lanjut Mahfud, pejabat eselon satu di Kemenkeu tersebut menyatakan, tidak pernah ada angka itu. ”Ndak ada, Bu, di sini. Ndak pernah ada katanya,” ujar Mahfud menirukan ucapan pejabat tersebut. Namun, pernyataan itu berubah saat Ketua PPATK Ivan Yustiavandana menunjukkan surat yang valid berisi angka Rp 189 triliun tersebut. ”Baru dia (pejabat eselon satu Kemenkeu, Red), oh iya nanti dicari,” tambahnya.
Persisnya, Mahfud menjelaskan bahwa transaksi mencurigakan itu diduga pencucian uang atas impor emas batangan yang dilakukan 15 entitas. ”Tapi, dalam surat cukainya itu dibilang emas mentah,” imbuhnya. Ketika PPATK melakukan pendalaman, pihak-pihak terkait bersikeras menyampaikan yang diimpor adalah emas mentah yang kemudian dicetak di Surabaya. ”Dicari ke Surabaya ndak ada pabriknya,” kata dia.
Menambahkan keterangan Mahfud, Ivan menyampaikan bahwa perbedaan data yang muncul disebabkan beberapa hal. Antara lain, Kemenkeu mengeluarkan atau memisahkan entitas Kemenkeu yang diduga terkait transaksi mencurigakan dengan perusahaan cangkang temuan PPATK. ”Jadi, misalnya dalam satu surat itu ada oknumnya satu, tapi perusahaannya ada lima, ada tujuh, delapan, dan segala macam,” ungkapnya.
Oleh Kemenkeu, entitas perusahaan cangkang dipisahkan dari entitas pegawai Kemenkeu. Sehingga dari angka Rp 35,5 triliun berkurang menjadi Rp 22 triliun, kemudian berkurang lagi menjadi Rp 3,3 triliun. Menurut PPATK, entitas pegawai Kemenkeu tidak bisa dipisahkan dari entitas perusahaan cangkang. ”Alasan PPATK memberikan data oknum plus nama perusahaannya, karena kami menemukan perusahaan-perusahaan itu adalah perusahaan cangkang yang dimiliki oleh oknum,” jelas Ivan.
Karena itu, PPATK menggabung semua entitas tersebut. Menurut Ivan, praktik TPPU memang tidak jarang menggunakan modus tangan orang lain. Misalnya, yang digunakan adalah nama istri, anak, sopir, hingga tukang kebun. ”Sehingga kalau kami keluarkan data (entitas perusahaan, Red) itu, justru kami bohongi penyidiknya. Kami masukkan data-data perusahaan berikut nama oknumnya, di situlah ketemu yang namanya Rp 35 triliun,” terang dia.