JawaPos.com – Leno dan Irwan bergantian menendang bola dari batu bata putih. Mereka tak bermain dengan bola biasa, melainkan bola yang sudah dibakar. Agar apinya terus menyala, bola bata putih itu sudah direndam dalam minyak tanah. Setelah dibakar, bola tersebut bisa dimainkan selama 5 hingga 15 menit.
Hukum permainan bola tak banyak berbeda dengan sepak bola biasa. Siapa yang mencetak gol paling banyak, dialah pemenangnya. Permainan sepak bola api itu berasal dari Sumba Barat, yang kemudian diadaptasi oleh para santri di Pulau Jawa puluhan tahun silam. Tak terkecuali Surabaya.
”Itu tradisi sepanjang Ramadan. Jadi, nggak ada tanggal-tanggal tertentu untuk memainkan, bisa kapan saja,” ucap Mustofa Sam, warga Tubanan, Tandes.
Tradisi sepak bola api biasanya digunakan untuk mengisi waktu-waktu kosong saat Ramadan. Anak-anak usia belasan tahun seperti Leno dan Irwan biasanya memainkan bola api seusai salat Tarawih berjemaah.
”Ya, senang-senang saja habis puasa dan salat, kan ketemu teman-teman di masjid. Jadi, lanjut main,” ujar Leno pada Senin (27/3) malam.
Jika bosan, anak-anak dan bapak-bapak muda setempat juga memanfaatkan waktu pendek sebelum patrol sahur. Mereka memainkan satu sesi bola api di lahan kosong di kampung.
Mustofa yang memiliki beberapa bola bata putih biasanya diminta untuk membantu merendam bola-bola yang akan dipakai. ”Kalau sudah dipakai dan padam, sebenarnya bisa dipakai lagi. Cuma memang sabar harus menunggu dingin, baru direndam minyak tanah lagi,” jelas Mustofa.
Kelekatan sepak bola api dengan Ramadan bukan tanpa alasan. Filosofi permainan bola api bertutur tentang kemampuan seseorang mengendalikan emosi. Dalam bermain bola api, para pemain harus bisa mengontrol bola dengan baik.
Mereka tetap harus menjaga ritme permainan tanpa membakar kaki dan sarung yang dikenakan. Sama halnya dengan mengontrol emosi. ”Makanya selaras dengan puasa dan Ramadan itu sendiri,” sambungnya.