PRESIDEN Joko Widodo geram terhadap aktivitas impor dan jual beli pakaian bekas. ”Itu mengganggu industri tekstil di dalam negeri. Sangat mengganggu. Yang namanya impor pakaian bekas mengganggu.” Demikian tegas Jokowi saat menghadiri pembukaan Business Matching Produk Dalam Negeri pada 15 Maret lalu.
Larangan aktivitas impor pakaian bekas sejatinya diatur pemerintah sejak 2015 dalam beberapa regulasi. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor yang diubah ke dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022. Barang-barang bekas seperti kantong, karung, dan pakaian bekas dilarang diimpor karena berdampak buruk bagi ekonomi domestik serta buruk untuk kesehatan dan lingkungan.
Namun, di sisi lain, sektor jual beli pakaian bekas impor atau sering disebut thrifting menjadi salah satu sumber penghasilan dan lapangan kerja sebagian masyarakat. Belum lagi, aktivitas thrifting telah menjadi budaya beli masyarakat kita. Sebab, dengan harga murah, mereka bisa memperoleh aneka pakaian bekas berkualitas dengan brand ternama.
Dalam beberapa hari ini, pro-kontra terjadi dan berkembang di masyarakat. Sebagian mendesak pemerintah harus tegas melarang aktivitas bisnis ini. Pihak lain menilai bahwa thrifting adalah tren ketika produk dalam negeri tidak mampu memenuhi tuntutan kebutuhan dan keinginan konsumen. Lalu menyikapinya, apa yang perlu dilakukan?
Impor pakaian bekas dilarang dengan beragam alasan. Masifnya impor pakaian bekas disebut merugikan negara karena mengganggu industri tekstil dalam negeri dan mengerdilkan pasar produk UMKM. Menurut pemerintah, 80 persen produsen pakaian di Indonesia didominasi UMKM, sedangkan impor pakaian bekas memangkas pangsa pasar mereka sebanyak 12–15 persen. Belum lagi, UMKM di sektor tekstil dan olahannya menyerap tenaga kerja dengan jumlah yang besar.
Dilansir dari CNBC, sepanjang 2022 hingga Februari 2023, bea cukai telah mengamankan 7.877 bal impor pakaian bekas. Sebanyak 234 penindakan terhadap 6.177 bal impor pakaian bekas telah dilakukan. Ternyata, bisnis ini adalah sebuah kejahatan karena masuk ke dalam negeri secara ilegal atau diselundupkan. Dengan modus, pakaian bekas diselipkan di antara pakaian baru atau barang lainnya yang tidak dilarang masuk ke Indonesia.
Dari aspek kesehatan, pakaian bekas disebut menjadi media persebaran penyakit. Penggunanya dihadapkan pada ancaman kesehatan kulit seperti gatal, alergi, iritasi, dan infeksi kulit. Karena pakaian bekas impor tidak terjaga kebersihannya dan mengandung jamur yang membahayakan. Lebih dari itu, bisnis ini menimbulkan masalah baru bagi lingkungan karena banyak di antara pakaian bekas impor tersebut justru berakhir di tempat pembuangan akhir sampah. Apalagi pakaian bekas tersebut sejatinya adalah limbah, barang yang telah dibuang di negara asalnya.
Artinya, persoalan impor pakaian bekas dan thrifting bersifat kompleks. Ada banyak aktor yang berkelindan dan berkepentingan. Juga ada banyak kepentingan yang dipertaruhkan. Melarangnya tidak mudah. Tetapi, membiarkannya juga tidak mungkin. Apalagi di masyarakat kita berkembang tren, membeli pakaian bekas dari impor adalah hal yang biasa. Alih-alih memalukan, adalah sebuah kebanggaan jika mengenakan pakaian branded dengan harga murah. Sesuai asal katanya, thrifting dari kata thrift yang artinya hemat atau penghematan.
Terlepas dari itu, kiranya pemerintah perlu melakukan beberapa hal untuk mewujudkan win-win solution. Pertama, pemerintah perlu terus memfasilitasi dan mendampingi pengembangan UMKM. Agar menghasilkan produk pakaian berkualitas dengan standar ekspor, dengan harga lebih terjangkau. Pasar pakaian produk UMKM juga perlu difasilitasi untuk menjangkau konsumen yang lebih luas.
Kedua, bisnis impor pakaian bekas melibatkan banyak pihak. Regulasi yang ada harus ditegakkan dengan tegas sebagaimana seharusnya.
Ketiga, thrifting juga dikaitkan dengan nasionalisme, cinta dan bangga dengan produk dalam negeri. Karena itu, masyarakat perlu diedukasi melalui beragam cara dan media guna menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan itu.
Berikutnya, Ramadan dan Idul Fitri adalah momen tingginya permintaan pasar pakaian, termasuk juga pakaian bekas impor. Pemerintah perlu segera meredakan pro-kontra yang berkembang melalui narasi-narasi yang mendamaikan.
Terakhir, di forum internasional, pemerintah perlu duduk bersama negara-negara yang selama ini menjadi sumber impor pakaian bekas. Mendiskusikan dan memikirkan upaya multilateralisme agar hubungan antarnegara tidak terdampak dari adanya kebijakan pemerintah ini. (*)
*) NAJAMUDIN KHORUR RIJAL, Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang