JawaPos.com – Kecelakaan dimanapun bisa terjadi, perlunya waspada saat berkendara salah satu kunci untuk meminimalisir terjadinya tabrakan. Namun, seringnya kasus tabrak truk dari belakang masih sering terjadi.
Bahkan belum lama ini pebulu tangkis Syabda Perkasa Belawa meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan menabrak truk dari belakang (20/3). Jauh sebelumnya mantan Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak juga mengalami hal yang sama.
Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) dalam keterangan tertulisnya mengungkapkan kecelakaan lalu lintas yang menimpa mantan Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak jadi pengingat betapa pentingnya memastikan pengemudi dalam kondisi prima.
“Fasilitas pencegah fatalitas kecelakaan juga diperlukan. Kemudian, pebulutangkis Syabda Perkasa Belawa meninggal dalam kecelakaan lalu lintas di Tol Pemalang-Batang, Jateng, Senin. Syabda yang menderita cedera berat di kepala tewas setelah dirawat di rumah sakit,” kata Djoko.
Faktor penyebab fatalitas dalam kecelakaan ini menurut Djoko adalah tak tersedianya rear underrun protection (RUP) atau perisai kolong belakang pada truk. Komponen perisai itu penting untuk mencegah fatalitas atau kematian.
“Harusnya semua truk besar dipasangi RUP sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 74 Tahun 2021 tentang Perlengkapan Keselamatan Kendaraan Bermotor. Pemilik truk seharusnya memahami ini sebagai upaya menurunkan tingkat fatalitas kecelakaan tabrak belakang yang sering melibatkan truk besar,” tambah Djoko.
Perisai kolong belakang berfungsi layaknya bumper. Saat ditabrak dari belakang, kendaraan yang menabrak tidak akan tergelincir masuk ke kolong truk karena tertahan oleh bumper tersebut. Kondisi ini memberikan kesempatan airbag atau kantong udara pada mobil mengembang dan menyelamatkan penumpang.
Djoko menilai, hal ini juga dipengaruhi belum terwujudnya kebijakan zero truk ODOL (over dimension over load). Djoko menambahkan Kementerian Perindustrian dan Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) masih meminta penundaan dengan beragam alasan setiap akan diterapkan.
Terkait hal ini Investigator Senior Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Ahmad Wildan juga berpendapat kalau truk ODOL itu berjalan seperti merayap dengan laju rata-rata 40 kilometer per jam, apalagi di malam hari lampu belakang truk juga temaram sehingga tidak terlihat.
“Laju truk ODOL sangat lambat karena semburan tenaga dari mesin tidak sebanding dengan beban yang diangkutnya. Karena beban yang melebihi batas itulah, tenaga truk loyo ketika di jalan datar, apalagi di lintasan menanjak. Belum lagi saat malam hari lampu belakang truk juga temaram sehingga tidak terlihat, ini sangat berbahaya bagi kendaraan lain,” ujar Wildan.
Dalam catatan dari Ditjenhubdat (2023) menunjukkan upaya penundaan kebijakan zero truk ODOL terjadi di tahun 2019, 2021 dan tahun 2023. Sangat diharpkan agar Kementerian Perindustrian dan Apindo memiliki empati dengan keselamatan lalu lintas. Menyandingkan ekonomi dan keselamatan akan terwujud seperti halnya sudah dilakukan di banyak negara.
Belum lagi pengawasan terhadap kendaraan logistik juga masih lemah, ini berdasarkan data yang masih banyak pelanggaran muatan pada truk.
“Data yang terkumpul dari sejumlah jembatan timbang yang dioperasikan Ditjenhubdat, Kemenhub (2021), menyebutkan pemeriksaan terhadap kendaraan logistik yang tidak melanggar 88 persen, sedangkan yang melanggar 12 persen. Pelanggaran tertinggi adalah daya angkut sebanyak 67,7 persen, kemudian kelengkapan dokumen (29,02 persen), tata cara muat (2,1 persen), persyaratan teknis (0,7 persen), dan dimensi (0,5 persen),” beber Djoko.
Djoko berharap agar Kementerian Perindustrian dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang meminta penundaan larangan itu membuka mata atas fakta ini.
“Truk ODOL bukan hanya menyebabkan celaka, tetapi juga merugikan negara karena jalan menjadi rusak,” pungkas Djoko.