SELAMA ini, istilah yang diawali kata “tuna” lebih banyak berhubungan dengan masalah fisik manusia. Khususnya soal indra. Maka, muncullah istilah tunadaksa (cacat tubuh), tunarungu (tidak dapat mendengar; tuli), tunawicara (tidak dapat berbicara; bisu), dan tunanetra (tidak dapat melihat; buta). Juga ada tunagrahita (cacat pikiran; lemah daya tangkap; idiot), tunalaras (cacat suara dan laras), dan tunaaksara (tidak dapat membaca dan menulis; buta huruf).
Yang berkelindan masih dengan masalah sosial juga ada. Yakni, tunakarya (tidak mempunyai pekerjaan; tidak bermata pencaharian) dan tunasusila (tidak mempunyai susila; lonte; pelacur). Terakhir, tunaganda (sebutan bagi penderita catat lebih dari satu kecacatan (catat fisik dan mental).
Bila “tuna” pada semua istilah di atas bermakna “tanpa” atau “tidak memiliki”, perlu kiranya tim penyusun kamus di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada Badan Bahasa RI mempertimbangkan “tunaempati” masuk dalam entri KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Ke depan, “tunaempati” diprediksi makin sering muncul. Karena interaksi sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara belakangan ini cenderung membuat suasana gerah.
“Tunaempati” bisa diartikan dengan frasa padat: tidak memiliki empati; catat nurani. Fenomena “tunaempati” terlihat dengan gamblang mutakhir ini. Bukan hanya sebatas gejala, melainkan sudah sampai pada level akut. Makin ke sini, makin banyak perilaku “tunaempati” berseliweran di ruang publik. Baik muncul atas kesadaran sendiri maupun diunggah oleh warganet di ruang media sosial.
Virus “tunaempati” menggerogoti moral para pejabat dan keluarganya (baca: istri dan anaknya). “Simtom” nya sangat kentara: doyan pamer gaya hidup mewah. Memamerkan harta dan kekayaan yang dimilikinya. Bukan hanya rumah besar dan megah bak istana, tapi lebih banyak lagi item hedonisme yang dipamerkan. Sebut saja koleksi mobil mewah dan moge (motor gede), jam tangan dan tas perempuan berbanderol puluhan hingga ratusan juta rupiah, juga perhiasan-perhiasan mewah, pakaian, dan sepatu.
Informasi tentang perilaku hedon keluarga pejabat merebak begitu cepat. Mendominasi ruang media. Mulai media arus utama hingga medsos. Bahkan, televisi sampai mengundang narasumber khusus untuk membahasnya. Berita satu keluarga pejabat hedon belum hilang, sudah muncul lagi berita dengan tema sama tapi beda pejabat. Para netizen seperti punya stok melimpah soal perilaku keluarga pejabat hedon. Mereka tak lelah berburu. Lalu mengunggahnya di medsos. Pada momen yang tepat.
Pastinya, keluarga pejabat yang gemar pamer kekayaan itu tidak peka lingkungan. ’’Tunaempati’’nya sangat parah. Sangat menjijikkan. Mereka memamerkan gaya hidup mewah saat puluhan juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Data BPS mutakhir menyebutkan, tingkat kemiskinan pada September 2022 tercatat 9,57 persen atau sebanyak 26,36 juta warga di negeri ini berada di bawah garis kemiskinan. Jangankan membeli mobil dan moge, apalagi tas, sepatu, baju, dan arloji mewah, untuk makan saja, 26 juta orang miskin Indonesia masih sulit memenuhinya. Uang penghasilan hari ini habis untuk makan hari ini juga. Terkadang malah tidak cukup untuk makan satu keluarga. Mereka lebih sering mengurangi jatah makannya. Baik takaran maupun kala makannya.
Bayangkan, ketika 26 juta rakyat hidupnya serba kekurangan, ada sekelompok pejabat bersama keluarganya malah bergaya hidup superwah. Dilakukan dengan kesadaran penuh lagi. Saraf empati mereka benar-benar telah putus. Rasa kemanusiaannya sudah mati. Mereka sangat layak dimasukkan ke dalam kelompok masyarakat penyandang cacat baru. Dengan sebutan ’’tunaempati’’.
’’Tunaempati’’ itu bak tulah bagi keluarga. Bermula dari kasus Mario Dandy Satriyo menghajar David Ozora dengan biadab. Publik penasaran terhadap sosok Dandy yang kerap pamer sederet motor dan mobil mewah. Lantas, publik menelusurinya. Terbongkarlah fakta mencengangkan. Ternyata Mario putra pejabat Kemenkeu Rafael Alun Trisambodo (RAT). Yang memiliki harta sangat berjibun. Sangat jomplang dengan profil pekerjaannya di Kemenkeu. Singkat cerita, RAT dipecat secara tidak hormat sebagai PNS. Ditambah bonus khusus: berurusan dengan KPK, yang terus menyelidiki sumber hartanya, sebanyak Rp 56,1 miliar (sesuai LHKPN), dan hartanya yang lain.
Beda dengan RAT yang kena tulah anaknya, Eko Darmanto kena tulah ulah hedonnya sendiri. Dia gemar pamer gaya hidup mewah di medsos. Dalam aksinya, dia menunggangi kendaraan mewah hingga naik helikopter pribadi. Setelah dilakukan penyelidikan internal, Eko terbukti tidak melaporkan beberapa aset miliknya ke LHKPN. Kemenkeu pun mencopotnya dari jabatan kepala Kantor Bea Cukai Jogjakarta.
Andhi Pramono bernasib sama. Dia harus menjalani pemeriksaan untuk memastikan harta yang dimilikinya tak dihasilkan dari korupsi.
Yang terbaru, Esha Rahmansah Abrar giliran kena tulah gaya hedon istrinya. Kasubbag Administrasi Kendaraan Biro Umum Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) itu dinonaktifkan dari jabatannya, gegara istrinya mengunggah struk pembelian mobil di medsos pribadinya.
Al-akhir walaisa al-akhir. Para pejabat di Indonesia kini menjadi sorotan publik. Sebuah fenomena yang memprihatinkan. Pasalnya, di tengah rakyat menjerit tertindih kemiskinan, birokrat (ASN dan pejabat) justru berlomba jadi miliarder. Menumpuk-numpuk harta. Dan, istri dan anaknya gemar pamer harta kekayaannya. Inikah bukti dari keberhasilan Revolusi Mental itu?
*) Direktur Jawa Pos Radar Banyuwangi, pekolom dan pemuisi