MENJELANG bulan suci Ramadan, umat Islam (terutama masyarakat Jawa) biasanya mengadakan acara slametan megengan. Kebanyakan orang Jawa sudah paham bahwa slametan megengan dimaksudkan sebagai amaliah sedekah kepada para tetangga untuk menandai datangnya Ramadan. Istilah megengan berasal dari kata megeng atau biasa dimaknai megeng napas, artinya menahan napas. Yakni menahan dari segala keinginan yang melampaui batas karena kita hendak menunaikan ibadah puasa sebulan penuh sebentar lagi. Barangkali, melalui ijtihad para ulama Jawa dulu, amaliah yang paling tepat menjelang puasa wajib Ramadan adalah memberikan sedekah yang diwujudkan dengan slametan megengan.

Sebelum Ramadan, ada bulan Syakban atau oleh orang Jawa disebut Ruwah. Artinya memberikan penghormatan kepada para arwah leluhur kita yang sudah meninggal dunia dengan cara berziarah ke kuburnya. Belakangan ini malah marak diadakan tahlil amanat, entah di pemakaman umum atau di musala dan masjid, yakni mengirim bacaan tahlil dan doa kepada para arwah yang telah meninggal dunia, yang dilakukan oleh para santri atau takmir musala/masjid. Dalam hal ini, mereka yang berhalangan atau absen bisa menitipkan nama para arwah leluhurnya untuk dikirimi bacaan tahlil dan doa oleh para petugas takmir musala/masjid.

Dan pada Ramadan, umat Islam diwajibkan berpuasa sebulan penuh sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 183 yang artinya: ”Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Perspektif Puasa bagi Orang Jawa

Menurut Sang Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, puasa orang Islam dibagi tiga. Pertama, puasanya orang awam, yakni menahan tidak makan-minum dan tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Kedua, puasa khusus, yakni selain tidak makan-minum dan yang membatalkan puasa, juga mengendalikan pikiran serta pancaindra. Termasuk mengendalikan pandangan mata, pendengaran telinga, penciuman hidung, ucapan melalui mulut, dan perabaan kulit. Ketiga, puasa khusus-bikhusus, yakni selain hal di atas, juga memiliki kesadaran di hati untuk senantiasa mengingat Allah SWT dalam setiap keadaan.

Orang Jawa dulu sering kali mengistilahkan puasa itu dengan kata pasa, yakni dimaksudkan ngeposne rasa atau mengistirahatkan rasa. Ada ilustrasi menarik yang disampaikan para leluhur Jawa dulu mengenai rukun Islam, yakni dengan orang yang sedang memanjat pohon kelapa.

Pertama, pohon kelapa yang tinggi menjulang itu melambangkan syahadat. Pohon kelapa biasanya bentuknya seperti huruf alif atau angka 1 yang mengisyaratkan mengenai ketauhidan atau mengesakan Allah. Kedua, pemanjat pohon kelapa melambangkan orang yang sedang menunaikan ibadah salat lima waktu. Salat sebagaimana disebutkan dalam Alquran adalah sedang menempuh jalan pendakian.

Ketiga, pemanjat pohon kelapa tadi memetik buah kelapa dengan cara menjatuhkannya. Meskipun buah kelapa jatuh dari ketinggian, jangan merasa khawatir karena buah kelapa tidak akan rusak. Itulah ilustrasi mengenai zakat; meskipun telah dikeluarkan kepada orang lain, hakikatnya akan kembali kepada diri kita sendiri.

Keempat, pemanjat pohon kelapa tadi mapah (istirahat di atas daun kelapa) atau ngepos (mengistirahatkan rasa) yang identik dengan puasa. Artinya, puasa itu mestinya bagi orang Jawa menjadi sarana ”istirahat”-nya hati. Sebab, pada bulan puasa itulah rasa atau hati umat Islam bisa bermesraan dengan Allah SWT melalui zikir-wirid panjang.

Kelima, orang yang memanjat pohon kelapa tadi kemudian berdiri untuk memetik atau mengambil janur, yakni sejane neng nur (nurullah, cahaya Allah), bermakrifat kepada Allah (mengenal Allah SWT) sehingga menjadi insan yang muttaqien (takwa).

Perspektif Islamisasi Jawa & Jawanisasi Islam

Pascapuasa, setelah menjalankan salat Id (Idul Fitri) di lapangan atau masjid, umat Islam di Indonesia pada umumnya saling bersilaturahmi kepada keluarga (orang tua, sanak kerabat, dan sahabat) untuk saling bermaaf-maafan. Dengan mengucap ”Taqaballahu minna waminkum, taqabbal ya kariim” atau biasanya yang lebih sering ”Minal aidin wal faidzin” yang diartikan mohon maaf lahir dan batin.

Tradisi di Indonesia, Hari Raya Idul Fitri biasanya selama dua hari. Namun, di daerah Trenggalek dan Tulungagung, Jawa Timur, misalnya, ada tradisi yang turun-temurun, yaitu tradisi Bada Kupatan atau biasanya dilaksanakan pada hari kedelapan. Hal itu dimaksudkan merayakan hari raya (bada) setelah menjalankan puasa sunah Syawal selama 6 hari mulai hari kedua di bulan Syawal.

Hari Raya Kupatan itu biasanya lebih meriah daripada hari raya pertama di bulan Syawal. Biasanya warga Trenggalek, terutama di desa-desa Kecamatan Durenan, dan daerah Tulungagung menyediakan masakan ketupat yang diberikan kepada siapa saja yang bersilaturahmi kepada mereka. Karena menu yang dihidangkan ketupat, maka dinamakan Bada Kupatan.

Menjelang, saat, dan sesudah puasa di bulan Ramadan, betapa banyak amalan dalam perspektif Jawanisasi Islam, seperti megengan atau megeng napas yang diwujudkan melalui slametan megengan atau membagi-bagikan makanan kepada para tetangga kanan-kiri, kupatan, dan sebagainya. Bagi orang Jawa, amalan-amalan itu disebut perspektif Jawanisasi Islam lantaran unsur Jawanya lebih dominan yang terkait dengan perspektif agama Islam.

Sementara amalan seperti slametan, Yasinan, dan tahlilan dan sebagainya lebih identik dengan Islamisasi Jawa. Hal itu sebagaimana syiar dakwah yang dilakukan Wali Sanga secara lentur dan persuasif kepada masyarakat Jawa di zaman dahulu hingga mengalami keberhasilan yang gilang-gemilang. Selamatan dan acara Yasin tahlil itu biasanya selalu ditutup dengan doa selamat. (*)


*) WAWAN SUSETYA, Sastrawan-budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung, Jatim

By admin