JawaPos.com – Calon Hakim Agung Dwiarso Budi Santiarto menyatakan, pengurangan hukuman atau penambahan hukuman pada terpidana korupsi merupakan suatu hal yang biasa atau sudah lumrah. Dia menyebut, hal tersebut harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Misal, perkara Tipikor dakwaan Pasal 2 atau Pasal 3 kemudian terbukti. Dalam menjatuhkan pidana, hakim tidak mempertimbangkan empat kriteria (kerugian keuangan negara, masalah keuntungan yang diterima, kemudian berat-ringannya), kalau itu tak dipertimbangkan tentu diperbaiki oleh pengadilan tingkat banding,” kata Dwiarso saat menjalani seleksi wawancara CHA, Selasa (3/8).
“Sehingga di situ bisa nampak bahwa ada penurunan, ada juga penambahan. Hanya saja, sekarang yang lebih populer atau lebih jadi berita kalau itu terjadi penurunan atau diskon tadi, imbuhnya.
Kepala Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) ini menyatakan, dirinya secara pribadi tidak bisa memberi komentar, jika belum membaca secara utuh pertimbangan putusan. Karena dalam menjatuhkan pidana, hakim yang baik tentu mempertimbangkan segala hal yang terkait dengan perkara. “Tidak sedemikian gampang untuk menurunkan,” cetus Dwiarso.
Mantan Ketua Majelis Hakim yang mengadili perkara penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2017 ini justru menyalahkan masyarakat, jika mendapat informasi yang kurang lengkap. Sehingga memandang, seolah-olah MA atau pengadilan tingkat banding menurunkan hukuman bagi terpidana korupsi.
“Padahal kalau kita lihat sebagaimana yang disampaikan Yang Mulia Bapak Ketua MA bahwa yang ada penurunan itu sudah kita catat hanya di bawah 8 persen. Yang lainnya menguatkan bahkan menambah, ini yang perlu diketahui masyarakat bahwa tidak sebanyak itu,” tegas Dwiarso.
Sebagaimana diketahui, Komisi Yudisial menggelar seleksi wawancara bagi 24 Calon Hakim Agung. Seleksi ini diselenggaran pada 3-7 Agustus 2021.
Proses seleksi dilakukan sesuai permintaan Mahkamah Agung (MA) untuk mengisi posisi 13 hakim agung yang kosong. Posisi yang dibutuhkan, yaitu dua hakim agung untuk Kamar Perdata, delapan hakim agung untuk Kamar Pidana, satu hakim agung untuk Kamar Militer, dan dua hakim agung untuk Kamar Tata Usaha Negara (TUN), khusus pajak.