JawaPos.com – Tak terlalu disorot media, di matras gulat Olimpiade Tokyo 2020 di Makuhari Messe Hall, tercipta sejarah baru lainnya dari ajang Olimpiade. Adalah Mijain Lopez Nunez dari Kuba yang membuat tonggak baru Olimpiade ketika dia merebut medali emas gulat Greco-Roman atau Yunani Romawi kelas 130kg di Olimpiade keempat yang dia ikuti.

Pegulat berusia 38 tahun itu tak bisa menyembunyikan kegembiraan saat berhasil mencapai hal yang sebelumnya tak bisa dilakukan. Pegulat kelas berat super terhebat di dunia itu memenangkan medali emas keempatnya dari empat kali mengikuti Olimpiade sejak 2008.

Darah, keringat, dan air mata selama bertahun-tahun latihan dan bertarung mengucur dalam momen di Makuhari Messe Hall, Tokyo, Senin (2/8). Si Raksasa dari Herradura itu meninjukan tangan ke udara untuk meluapkan kegembiraannya.

Juara Olimpiade Beijing 2008, London 2012, dan Rio de Janeiro 2016 itu lalu mengangkat pelatihnya Raul Trujillo dan kemudian membentangkan bendera Kuba di arena. Sebelumnya, hanya pegulat putri Jepang Kaori Icho yang bisa memenangkan empat medali emas dari empat Olimpiade yakni Athena 2004, Beijing 2008, London 2012, dan Rio de Janeiro 2016.

Dan, kini ada lima atlet sepanjang sejarah Olimpiade modern yang memenangkan emas dari empat Olimpiade berbeda. Tiga atlet lainnya adalah perenang Michael Phelps, sprinter sekaligus pelompat jauh Carl Lewis, dan pelempar cakram Al Oerter yang ketiganya dari Amerika Serikat.

Sebelum masuk arena, hanya ada satu orang yang bisa menghentikan Lopez Nunez merengkuh pencapaian fenomenal itu. Orang itu adalah Iakobi Kajaia yang sebelas tahun lebih muda yang juga juara Eropa dan perempat finalis Rio 2016. Namun, Lopez Nunez tak sudi begitu saja menyerahkan mahkota Olimpiade yang sudah dia kenakan selama 13 tahun terakhir itu.

Dan, dia melakukannya dengan meyakinkan karena tak kehilangan satu pun poin, seperti dia lakukan selama turnamen ini. Sungguh gaya bergulat yang paripurna. Kegembiraan meletup begitu bel tanda berakhirnya pergulatan berbunyi tatkala skor 5-0 untuk Lopez Nunez.

“Saya bahagia dan bangga menjadi yang terbaik di dunia dan menciptakan sejarah,” kata Lopez Nunez seperti dikutip laman Olympics.com.

Hasrat Besar

“Saya sudah lama sekali berkarir, bekerja keras mewujudkan semua tujuan dan memecahkan rekor ini. Bagi saya, mampu memecahkan rekor ini adalah prestasi terbesar karena saya melawan yang terbaik dan saya bisa bangga,” sambung Lopez Nunez.

Segera setelah momen bersejarah itu, Presiden Kuba Miguel Diaz-Canel meneleponnya. “Beliau menelepon saya untuk menyelamati saya atas pencapaian ini. Saya merasa tersanjung telah bertarung demi negara saya,” kata Lopez Nunez.

Sebelum final Tokyo 2020 itu, Si Raksasa dari Herradura itu melalui tiga pertarungan. Pertama, menyingkirkan pegulat Rumania Alin Alexuc Ciurariu 9-0, kemudian pegulat Amin Mirzazadeh 8-0.

Juara dunia lima kali dan juara bertahan Pan-Amerika itu lalu menghentikan lawan terberat selama bertahun-tahun, Riza Kayaalp dari Turki, di semifinal. Kayaalp sang juara dunia adalah salah satu dari sedikit pegulat yang mampu mengalahkan dia, pada kejuaraan dunia 2015. Namun, atlet Kuba yang menjatuhkan pegulat berusia 31 tahun tersebut dalam semifinal London 2012 dan final Rio 2016 itu juga memenangkan semifinal Tokyo 2020 itu dengan skor 2-0.

Dalam konferensi pers sesudah laga, sang juara Olimpiade empat kali tak mengungkapkan rencana pensiun. Tapi kalaupun melakukannya, warisan dia akan abadi. Dia tetap mengenakan mahkota itu selama tiga tahun ke depan, sampai Olimpiade Paris 2024.

Di Herradura di Kuba barat, kampung halaman Lopez Nunez, tak seorang pun yang meragukan kekuatan otot lelaki bertinggi badan dua meter itu untuk berjaya di Tokyo guna merebut emas Olimpiade keempatnya. “Penduduk Herradura, rakyat Kuba, mesti tahu medali ini akan pulang ke sini,” kata ayahnya, Timoteo Bartolo López, kepada AFP.

Lima tahun lalu di Rio, Lopez Nunez masuk klub berisikan enam gladiator yang tiga kali memenangkan emas Olimpiade dalam kurun 100 tahun yang di dalamnya termasuk legenda gulat Rusia Alexander Karelin. Kini dia meninggalkan klub itu karena sudah naik, sudah tidak lagi juara tiga kali Olimpiade, melainkan empat kali.

Di halaman rumahnya yang tak berdinding dan beratapkan daun palem di mana keluarganya selalu merayakan kemenangan yang diraih El Purro (Bocah Perkasa), julukan dia, ibundanya Leonor Nunez berkata “Mijain memiliki hasrat demikian besar dalam merengkuh medali emas itu seperti yang pertama dia lakukan di Beijing 2008.”

“Saya sama sekali tak ragu karena ada kekuatan di balik hasratnya, dan saya lihat dari kekuatan itu, ada pikiran dan hasrat positif,” kata ibu berusia 62 tahun itu.

Inspirasi Keluarga

Bagi si raksasa, keluarga adalah sumber motivasinya. Dia memang pernah bilang “di tangan saya dan pelatihlah saya bisa mencapai tujuan saya”, tapi filosofi menangnya berakar dari keluarganya. “Orang tua saya mengajarkan mentalitas itu kepada saya, sederhana sekali bahwa apa pun yang ingin kita capai dalam kehidupan hanya tergantung kepada segala hal yang kita usahakan,” kata Lopez Nunez.

Spirit itu tertempa di pegunungan yang mengelilingi Herradura di mana Lopez Nunez mengencangkan otot-ototnya sejak kecil dengan berlari mengejar hewan dan memanggul pikulan berisi buah dan umbi-umbian. “Dia selalu ingin jadi el forzu (si kuat),” kata sang ibu.

Dia mengenal dunia olah raga dari dua kakaknya, Misael dan Michel, yang masing-masing menggeluti dayung dan tinju. Mereka berdua mendorong sang adik agar masuk ring tinju, tetapi Lopez Nunez menyadari gulat adalah panggilan hatinya. “Begitu seorang pelatih gulat bernama Sergio (Soto) melihatnya, dia langsung tertarik,” kenang sang ibu.

“Dia anak manja, pemarah nan tampan (yang hobi berkelahi),” kata Michel yang meraih medali perunggu tinju Olimpiade Athena 2004, ketika Lopez Nunez finis urutan kelima dalam gulat Olimpiade itu. Dia dikenal berkemauan kuat tapi periang. Dia berlatih dan tinggal di Havana bersama istri dan kedua anaknya.

Namun, pada usia 13, karir dia hampir tamat manakala ayahnya memerintahkan dia berhenti gulat setelah patah tulang tibia dan fibula saat berkompetisi. Begitu pulih, dia ikut lomba antarsekolah dan sukses meraih dua medali emas dan dua medali perak.

Empat tahun kemudian dia masuk Timnas Kuba dalam usia 17 tahun. Sembilan tahun setelah itu dia merebut medali emas Olimpiade pertamanya di Beijing. Lalu di London 2012 dan Rio 2016 di mana dia menghadapi lawan yang sama, Rizaa Kayaalp si Turki.

Sebelum final Rio 2016, Si Raksasa dari Herradura meminta restu kepada ibundanya. “Saya bilang kepadanya ‘kalahkan dia seperti kamu mematahkan pensil’ dan itulah yang dia lakukan,” kenang Leonor Nunez. Dan, itu pula yang dia lakukan saat merebut medali emas Olimpiade keempatnya di Tokyo.

By admin