Perbedaan dengan saudaranya membuatnya bertanya. Siapa dirinya? Dari mana asalnya? Bermodal secarik salinan kertas dari yayasan, Ana Maria van Valan nekat kembali menuju tanah kelahirannya. Demi mencari ibu kandung.
WAHYU ZANUAR BUSTOMI, Jawa Pos
SELEMBAR berkas dikeluarkannya di meja makan rumahnya. Isinya adalah beberapa koleksi foto lama. Wajahnya pun mulai tersenyum. Dia kembali mengingat momen keceriaan waktu itu. Dari album kenangan tersebut, Ana begitu bahagia. Foto dengan saudaranya lantas ditunjukkannya.
Namun, ekspresinya sedikit berubah saat menunjukkan salah satu fotonya. Gambar yang diambil ketika Ana baru masuk ke salah satu yayasan di Jakarta. Tepatnya saat berusia 2 tahun. ”Itu foto saat kali pertama berpisah dari ibu,” katanya sembari mengingat kenangan waktu itu.
Ana lahir di Bogor pada 1976. Pada 1978, dia dibawa orang tuanya ke sebuah yayasan untuk dititipkan. Sebab, ibunya bekerja di Jakarta. Masa kecilnya di Bogor juga masih dikenangnya. Salah satunya, bermain di sawah.
Perpisahan dengan ibunya itu tidak disangkanya sampai lama. Ana memang waktu itu tidak tahu apa-apa. Sebab, dia hanya menangis setelah ibunya keluar dari yayasan. Yang jelas, tangisannya reda setelah dibujuk suster.
Tidak berselang lama, dia diadopsi pasangan suami istri dari Belanda. Di Belanda, Ana tinggal bersama empat saudaranya. Rupanya, dia diadopsi karena orang tua angkatnya menginginkan anak perempuan.
Saking inginnya memiliki anak perempuan, orang tua angkatnya juga mengadopsi satu lagi bayi perempuan asal Indonesia. ”Jadi, adik saya juga perempuan dari Indonesia,” ujarnya.
Kehidupannya di Belanda serba berkecukupan. Pendidikan dan materi pun terjamin. Namun, batinnya selalu bertanya. Sebab, ada perbedaan fisik dia dengan kakak-kakaknya. Pertanyaan itu akhirnya terjawab. Sebuah akta notaris menjelaskan dari mana asalnya.
Pada 1994, tepatnya saat berusia 18 tahun, didampingi orang tua angkatnya dan adik perempuannya, Ana memutuskan pergi ke Indonesia. Kenangannya di Pantai Ancol pada waktu itu juga diabadikannya. Termasuk foto-fotonya ketika bertemu dengan orang tuanya.
Pertemuan Ana dengan Sati dan Adung, orang tua kandungnya, saat itu dibantu notaris. Warga Kampung Pasir Ipis, Bogor, waktu itu geger. Maklum, mereka baru kali pertama melihat bule masuk desa. Rupanya, kedatangan rombongan tersebut mengejutkan orang tua kandungnya.
Pertemuan itu selalu dikenangnya hingga kini. Tangis haru mengucur. Setelah 18 tahun berlalu, Ana akhirnya merasakan dekapan sang ibu. Dia juga tak menyangka masih memiliki bapak. ”Karena di surat dari yayasan hanya ada nama ibu,” ungkapnya.
Dalam pertemuan itu juga diketahui, sang ibu saat itu hanya menitipkannya karena bekerja di Jakarta. Ibunya bahkan sempat mencari ke yayasan. Rupanya, putrinya itu sudah tidak ada.
Dia membeberkan, setelah dirinya tinggal di yayasan, orang tua angkatnya dihubungi. Kemudian, Ana berada di Jakarta dan dibawa ke Belanda. Di Bogor, dia memiliki dua saudara. Namun, semua sekarang sudah meninggal. Termasuk bapaknya. Sementara, Sati meninggal pada 2014. ”Saya bersyukur bisa bertemu dengan kedua orang tua,” tuturnya sambil terharu.
Sejak pertemuan pertama, Ana selalu menyempatkan berkunjung ke Bogor. Pada 2012, dia memilih tinggal di Singapura. Kemudian, sejak 2016 sampai sekarang, Ana menetap di Surabaya. Ana berstatus WNA, tetapi sangat mencintai tempat kelahirannya. ”Sampai sekarang, saya juga berhubungan baik dengan keluarga di Belanda,” terangnya.
Kegelisahan adiknya dan teman-temannya itu membuat Ana dan Christine Verhaagen mendirikan Stichting Mijn Roots atau organisasi mencari orang tua kandung.