JawaPos.com–Dalam waktu 5 tahun, 10-15 persen predator mengulangi perbuatannya. Setelah 10 tahun, 20 persen menjadi residivis. Setelah 20 tahun, 30-40 persen memangsa korban lagi. Hal tersebut disampaikan pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel.
”Waspadalah,” ujar Reza Indragiri Amriel.
Dia mencontohkan Andri Sobari alias Emon pelaku sodomi terhadap 120 anak di Sukabumi pada 2014 sudah bebas dari bui. Dia bebas sejak Februari dari Lapas Klas 1 Cirebon.
Menurut Reza, dia pernah mengunjungi Emon di Polres Sukabumi sekian tahun silam. ”Nanti saya (Emon) mau jadi dua. Kyai dan penyanyi dangdut,” kata Reza.
Reza menjelaskan, Emon tergolong cerdas. Dia catat rinci nama korban serta tanggal dan lokasi kejadian.
”Dengan kecerdasannya itu, tak mudah untuk dipastikan apakah perubahan perilaku selama di lapas merupakan hasil positif pembinaan atau semata kamuflasenya agar dinilai baik,” papar Reza.
Angka tentang residivisme, lanjut dia, menunjukkan betapa kemujaraban program rehabilitasi -andaikan ada, kian menurun seiring perjalanan waktu. Karena itu, menurut dia, Indonesia perlu punya basis data tentang pelaku dan anak-anak yang menjadi korban kejahatan seksual.
”Basis data pelaku sebaiknya dibikin open access, sehingga masyarakat bisa waspada. Ini bagian dari upaya meningkatkan daya lenting kolektif terhadap bahaya kejahatan seksual,” papar Reza yang juga anggota Pusat Kajian Asesmen Pemasyarakatan, Poltekip.
”Sebarluaskan foto dan ciri-ciri predator. Pajang di wilayah yang mungkin akan dia kunjungi,” tambah dia.
”Mau memaafkan pelaku, silakan saja. Saya, ketimbang mendorong masyarakat untuk memaafkan, lebih memilih untuk mengingatkan khalayak akan potensi bahaya yang tetap ada pada diri mantan narapidana kejahatan seksual terhadap anak,” ujar Reza.
Bagaimana kalau predator dikebiri? Menurut Reza, libidonya memang lebih terkendali. Tapi kemungkinan melakukan aksi kejahatan tetap ada.
”Itu karena akar kejahatannya bukan di hormon, tapi di otak. Toh dia bisa menjahati korban pakai jari dan lain-lain,” terang Reza.