JawaPos.com – Kementerian Agama (Kemenag) akan menggelar pemantauan (rukyatul) hilal pada Rabu (22/3) sore nanti. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan awal Ramadan 1444 Hijriah/2023 Masehi dan akan dilaksanakan di 124 titik lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin mengatakan rukyatul hilal tersebut akan dilaksanakan oleh Kanwil Kementerian Agama dan Kemenag Kabupaten/Kota, bekerja sama dengan Peradilan Agama dan Ormas Islam, serta instansi lain di daerah setempat.
“Hasil rukyatul hilal yang dilakukan ini selanjutnya dilaporkan sebagai bahan pertimbangan Sidang Isbat Awal Ramadan 1444 H,” ujar Kamaruddin di Jakarta.
Menjadi penentu awal Ramadan dan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri, lalu apa itu hilal?
Hilal sendiri bisa didapat lewat metode perhitungan yakni hisab dan pengamatan langsung atau rukyat.Dikutip dari laman resmi BMKG, secara sederhana, hilal adalah bulan sabit muda pertama, yang dapat dilihat setelah terjadinya konjungsi pada arah dekat Matahari terbenam. Hal ini yang kemudian menjadi acuan permulaan bulan dalam kalender Islam.
Biasanya hilal diamati pada hari ke-29 dari bulan Islam untuk menentukan apakah hari berikutnya sudah terjadi pergantian bulan atau belum. Metode mendapatkannya itu tadi, ada dua, hisab, dan rukyat.
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, Thomas Djamaluddin dari Pusat Riset Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menerangkan, hilal merupakan bulan sabit pertama yang teramati sesudah maghrib yang jadi penanda awal bulan Hijriah.
Kalender Hijriah, yang dipakai dalam penanggalan Islam, sendiri dihitung berdasarkan peredaran Bulan. Fasenya bermula dari bulan mati, sabit tipis, berkembang menjadi purnama, hingga kembali sabit dan hilang dari langit.
Hisab dan rukyat ini yang juga sampai hari ini jadi perbedaan penentu awal Ramadan dan Lebaran Idul Fitri. Thomas menjelaskan, hisab sendiri merupakan metode mencari hilal dengan perhitungan dan sementara rukyat dengan pengamatan.
Metode hisab biasa digunakan oleh Muhammadiyah, sedangkan NU menggunakan metode rukyat. Rukyat kadang gagal melihat hilal, sehingga puasa atau Idul Fitri pada hari berikutnya.
Sementara dalam bahasa Arab, hilal adalah bulan sabit atau bulan yang terbit pada tanggal satu bulan Kamariah. Awal penentu masuknya bulan Ramadan. Dalam kebudayaan Arab, bulan sabit digunakan untuk menandakan hujan pertama dalam musim.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, hilal juga berarti bulan sabit, bulan yang terbit pada tanggal satu bulan Kamariah. Adapun hilal bisa diamati selepas matahari terbenam. Sementara rukyat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online artinya, perihal melihat bulan tanggal satu untuk menentukan hari permulaan dan penghabisan puasa Ramadan.
Perbedaan Awal Ramadan
Membedah lebih jauh mengenai perbedaan awal Ramadan, Profesor Thomas mengupas masalah ini di blog pribadinya. Dikutip JawaPos.com pada Rabu (22/3) siang, sumber perbedaan hisab dan rukyat adalah perbedaan rujukan dan pemahaman dalil. Pengamal rukyat merujuk pada hadits Rasul “shuumuu li ru’yatihi” (berpuasalah bila melihat hilal) dengan beragam redaksinya.
“Sementara pengamal hisab merujuk pemahaman hadits “faqdurulahu” (perkirakan) dan dalil-dalil terkait. Ini perdebatan lama yang tidak bisa diselesaikan karena menyangkut keyakinan atas dalil. Ini ranahnya fikih (kajian hukum dalam pelaksanaan ibadah). Sikap kita hanyanya menerima kenyataan ada madzhab rukyat dan madzhab hisab,” jelas Thomas dikutip dari blog pribadinya.
Apakah kedua madzhab tersebut tidak bisa dipersatukan dari sisi lain agar keputusannya tunggal sehingga masyarakat muslim Muhammadiyah dan NU di Tanah Air bisa merasakan awal Ramadan dan Idul Fitri secara bersamaan?
Thomas menyebut bahwa sesungguhnya peluang itu ada dalam aspek implementasi. Objek utamanya adalah hilal. Maka dalam implementasi rukyat atau hisab, definisi hilal itu mestinya bisa dipersatukan. Itulah yang disebut kriteria. Kriteria adalah batasan minimum saat hilal bisa dinyatakan sebagai pertanda awal Ramadhan, Syawal, atau Dzulhijjah.
“Pengamal rukyat perlu kriteria agar saat pengamatan tidak keliru. Hilal itu sangat tipis dan redup, namun dihadapkan dengan latar depan cahaya syafak (senja) yang masih terang. Pengamal hisab pun perlu kriteria agar angka-angka hasil perhitungan bisa dimaknai dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah,” kata Thomas menerangkan.
Hal pokok yang dilakukan pengamal rukyat dan pengamal hisab adalah menentukan batas minimal keberadaan hilal sebagai penanda awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Perukyat mencari hilal secara langsung dengan mata, dengan alat optik (teleskop atau binokuler), atau dengan teleskop yang dilengkapi kamera digital. Kesaksian perukyat dengan mata atau teleskop dibuktikan dengan sumpah di depan hakim agama.
Namun nanti saat verifikasi pada sidang isbat, kesaksian tersebut dibandingkan dengan kriteria yang ditetapkan. Bila posisi hilal belum memenuhi kriteria, kesaksian hilal biasanya ditolak karena mungkin keliru dalam mengidentifikasi hilal.
Ahli hisab menentukan masuknya awal bulan bila posisi bulan sudah memenuhi kriteria. Biasanya yang digunakan sebagai kriteria adalah tinggi bulan di atas ufuk, jarak sudut bulan dari matahari (disebut elongasi), dan beda waktu terbenam bulan dan matahari. Kadang juga digunakan ijtimak (bulan baru astronomi) sebelum maghrib.
Kriteria, lanjut Thomas, diharapkan bisa menjadi titik temu pengamal rukyat dan pengamal hisab pada implementasi penentuan awal bulan. Objeknya tunggal, yaitu hilal. Namun hilal bukanlah benda, tetapi fenomena ketampakan bulan dari bumi. Hilal adalah pantulan cahaya Matahari oleh Bulan yang menampakkan bentuk sabit. Jadi ini terkait dengan sistem bumi-bulan-matahari.
“Kalau perbedaan dalil rukyat dan hisab adalah ranahnya ahli fikih dalam memperdebatkannya. Perbedaan kriteria adalah ranahnya ahli falak atau astronomi dalam mencari solusi penyatuannya. Masalah utamanya adalah mendefinisikan hilal secara astronomi yang bisa diterima pengamal rukyat dan pengamal hisab,” tegas Thomas.