JawaPos.com – Tekanan saham-saham bursa Amerika Serikat (AS) di akhir pekan lalu membuat indeks harga saham gabungan (IHSG) terjebak di zona merah. Melorot 0,98 persen atau 65,75 poin ke level 6.612,49 hingga akhir perdagangan, Senin (20/3). Sebanyak 175 saham menguat, 346 saham melemah, dan 189 saham stagnan.
Analis pasar modal Hans Kwee menilai, saham-saham bursa AS lesu menyusul kekhawatiran krisis likuiditas pasca kebangkrutan Silicon Valley Bank (SVB). First Republic Bank menjadi salah satu bank yang memerlukan bantuan likuiditas tambahan.
“Kabar itu muncul setelah saham First Republic terkoreksi dalam beberapa hari terakhir, dipicu oleh ambruknya Silicon Valley Bank dan Signature Bank,” terangnya kepada Jawa Pos.
Mengingat, kedua bank tersebut memiliki jumlah simpanan yang tidak diasuransikan. Seperti halnya First Republic. Hal itu menyebabkan kekhawatiran bahwa para deposan akan menarik uang mereka.
Untungnya konsorsium perbankan AS memberikan likuiditas yang diperlukan. Sekaligus memberikan sinyal ke pasar bahwa perbankan AS masih aman. Sebanyak 11 bank sepakat untuk menyetor dana senilai USD 30 miliar atau sekitar Rp 462 triliun ke First Republic Bank. Dengan harapan, menghindarkan bank tersebut dari kebangkrutan.
Para investor juga menantikan pertemuan The Federal Reserve (The Fed) yang akan berlangsung pada 21-22 Maret mendatang. Pelaku pasar memerkirakan bank sentral AS itu bakal menaikkan 25 basis poin (bps). Lebih rendah dari ekspektasi sebelumnya sebesar 50 bps akibat krisis likuditas perbankan belakangan ini.
Bursa saham Wall Street AS jatuh pada perdagangan akhir pekan lalu lantaran investor menarik diri dari posisinya di Bank First Republic dan saham-saham perbankan lainnya. Instrumen ETF dengan eksposur perbankan yaitu SPDR Regional Banking ETF kehilangan 6 persen dalam sesi tersebut. Serta menyelesaikan penurunan mingguan 14 persen per akhir pekan lalu.
Sementara Bank sentral Eropa alias European Central Bank (ECB) memutuskan menaikkan suku bunga acuan pada Kamis lalu (16/3). Yakni sebesar 50 bps menjadi 3,5 persen di tengah gejolak pasar keuangan. Kebijakan tersebut m menimbulkan kekhawatiran terhadap krisis perbankan global.
Langkah ECB memberikan tekanan terhadap indeks dolar AS (USD) yang membantu penguatan rupiah. “Pembuat kebijakan ECB berusaha meyakinkan investor bahwa bank-bank di Eropa dalam kondisi yang tangguh dan jika ada pergerakan ke suku bunga yang lebih tinggi, itu akan meningkatkan margin mereka,” jelas dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Trisakti itu.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) tetap mempertahankan kebijakan suku bunga acuan di level 5,75 persen. Ekonomi Indonesia dinilai akan tetap stabil dan tahan terhadap ketidakpastian di pasar global, termasuk krisis likuditas perbankan global.
Justru, Hans melihat potensi pengurangan BI 7 day reverse repo rate (BI7DRR) tahun ini. Paling cepat pasca momen idul fitri atau paling lambat akhir tahun dengan asumsi tetap kokohnya rupiah.
“IHSG berpotensi koreksi di awal pekan tetapi secara seminggu berpotensi menguat dengan support di level 6.542 sampai 6,480 dan resistance di level 6.709 hingga 6.824,” pungkasnya.