PADA 17 Maret 2023, kantor berita The Guardian merilis laporan berseri tentang kecemasan Amerika Serikat dan Kanada atas risiko keamanan platform media sosial TikTok. Keberatan utama dua negara ini ada pada kecurigaan atas potensi TikTok dalam mengamplifikasi berita-berita palsu, propaganda politik pro-Tiongkok, dan kebocoran data pengguna.

Kecemasan atas propaganda dan disinformasi yang difasilitasi platform TikTok adalah sebuah gejala yang relatif baru. Situasi ini juga cermin atas betapa revolusioner media sosial yang berbasis di Republik Tiongkok ini. TikTok berangkat dari medium trivia populer dengan konten utama tutorial make-up, musik, dan tari-tarian yang ringan sekaligus lucu (playful and silly) menuju media arus utama multitopik dan jangkauan audiens yang paling agresif saat ini.

Beberapa sarjana melihat potensi politik TikTok semakin kentara dalam peristiwa-peristiwa pemilu mutakhir. Mendoza (2022), misalnya, menganalisis pemilu Filipina tahun lalu yang sarat berita palsu dan melihat TikTok sebagai biang keladi utamanya. Kala itu dunia terkejut tatkala pemilu Filipina memenangkan putra diktator, Ferdinand ”Bongbong” Marcos Jr, ke tampuk kekuasaan. Prospek demokrasi Filipina seketika murung.

Indonesia, dengan beberapa variasi, sedang menuju pada tren kampanye politik berbasis TikTok. Per 2023, setidaknya satu miliar pengguna mengakses TikTok dengan nyaris 110 juta penggunanya beralamat di Indonesia. Dengan statistik jumbo itu, mudah dipahami semakin banyak nama politikus kondang yang masuk dan memoles popularitasnya di TikTok. Misalnya, akun Ganjar Pranowo berhasil menggaet 5,3 juta pengikut; Ridwan Kamil dengan 1,7 juta pengikut; sementara Erick Thohir terus bertumbuh dan mendapat simpati dari 1,2 juta pengikut. Kita melihat kontes popularitas di sini dengan suplai materi harian yang dikemas sedemikian rupa untuk merebut sebanyak-banyaknya mata.

Namun, justru di sinilah kewaspadaan harus ditambatkan. Hanya satu tahun berselang dari kompetisi pemilu serentak 2024, kita tak memiliki pengalaman yang matang serta perangkat regulasi dan sumber daya yang memadai dalam mengatur risiko-risiko kampanye politik di ranah virtual.

Strategi Nasional

Pada Oktober tahun lalu, majalah Fortune meliput keputusasaan para kandidat dalam pemilu kongres di Amerika Serikat yang mengharuskan mereka masuk dalam gelanggang TikTok meski tahu ada banyak risiko di sana. Para kandidat ini ”melawan” imbauan pemerintah agar menghindari kampanye berbasis TikTok karena alasan keamanan. Pertimbangannya begitu sederhana sekaligus pragmatis: ada ratusan juta suara pemilih pemula, sebuah angka yang pantas untuk diperebutkan (Klepper, 2022).

Dengan mayoritas pengguna yang berada di usia pemilih pemula, Amerika Serikat (AS) mengambil jalan kontroversial berupa ancaman blokir atas TikTok, apalagi dengan data bahwa dua di antara tiga remaja AS adalah pengguna aktif harian. AS mengantisipasi risiko besar dari kebocoran data-data privat pengguna, terutama sejak hukum intelijen nasional Tiongkok disahkan pada 2017. Peraturan ini mengharuskan perusahaan-perusahaan media berbasis Tiongkok untuk menyerahkan apa pun data penggunanya yang berhubungan dengan kepentingan Tiongkok. Tentu saja langkah AS ini segera dikecam sebagai perlambang otoritarianisme, yang tak ada bedanya dengan otoritarianisme Tiongkok dalam melarang Google atau New York Times untuk diakses di negaranya.

Pada sisi lain, Indonesia perlu menyiapkan langkah. Disinformasi politik yang telah menjadi rutinitas lima tahunan pemilu telah menjadi tren yang makin sulit dilawan. Kita memang tak sendirian, ada ratusan negara dengan kecenderungan dan kerentanan yang sama terhadap ancaman disinformasi politik. Sampai detik ini, sangat sedikit negara yang dicatat berhasil dalam melawan dan mencegah disinformasi. Kecuali, mereka yang berada dalam sistem diktatorial tertutup dengan kontrol mutlak atas media. Alih-alih menginvestasikan ratusan miliar rupiah pada aspek infrastruktur sebagaimana yang dikerjakan Kementerian Komunikasi dan Informatika sejak beberapa tahun lalu, Indonesia perlu berinvestasi lebih pada literasi media dan perlawanan sistematis disinformasi (counter disinformation).

Setiap lembaga strategis yang berurusan dengan pemilu harus dibekali secara memadai. KPU, misalnya, tampak menjadi instansi yang begitu rentan oleh delegitimasi politik dan serangan kampanye hitam oleh kandidat yang tak puas atas hasil pemilu. Penting dicatat bahwa serangan disinformasi sistematis atas penyelenggara pemilu juga menjadi tren di negara-negara Asia Tenggara seperti Kamboja, Thailand, dan Filipina. Sementara itu, universitas, peneliti independen, dan kelompok-kelompok generasi muda tampak kekurangan tempat dan belum mampu berbicara banyak. Singkatnya, sejauh ini tak ada strategi nasional yang terorganisasi dan cetak biru untuk melawan disinformasi.

Mungkin karena itulah, dalam literatur komunikasi politik mutakhir, muncul satu ironi atas bagaimana kampanye beracun disinformasi semakin menjadi gejala sehari-hari justru ketika teknologi media tumbuh begitu terbuka dan transparan. Negara perlahan melemah karena degradasi mutu informasi. Kecanggihan teknologi dan keterbukaan akses informasi, rupanya, tak seideal kelihatannya: ia nyaris tak berseiring dengan kontrol atas mutu. Proposisi ini membawa semua orang pada satu tuntutan mutlak bahwa diperlukan ekosistem demokratis yang aman dengan regulasi yang ketat. (*)


*) RENDY PAHRUN WADIPALAPA, Peneliti politik, PhD dari University of Leeds, United Kingdom

By admin