SEPERTI sudah banyak diprediksi, ketiga polisi terdakwa tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang dan ratusan lainnya luka berat mendapatkan vonis ringan, bahkan bebas, dari Pengadilan Negeri Surabaya. Hakim menjatuhkan vonis bebas kepada mantan Kasatsamapta Polres Malang AKP Bambang Sidiq Ahmadi serta mantan Kabagops Polres Malang AKP Wahyu Setyo Pranoto.

Dan vonis 1,5 tahun penjara kepada mantan Komandan Kompi Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan.

Lantas kenapa vonis itu tidak terlalu mengejutkan jika dibandingkan, misalnya, dengan kasus Irjen Pol Sambo yang membunuh satu orang dan divonis hukuman mati?

Titik awal pembeda dari dua kasus di atas dapat ditelusuri dari bagaimana biasnya konstruksi perkara Kanjuruhan dalam BAP yang disusun penyidik Polda Jatim. Sejak awal penyidik hanya memasang Pasal 359 KHUP dan Pasal 360 KUHP tentang kealpaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan luka berat serta Pasal 103 ayat (1) jo Pasal 52 UU RI Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan untuk menjerat para tersangka yang juga rekan mereka.

Namun, jika dilihat dalam BAP perkara ini, tampak jelas konstruksi perkara yang dibangun lebih berfokus pada pemenuhan pembuktian terkait bagaimana pertanggungjawaban penyelenggara dan aparat keamanan terhadap keselamatan suporter yang ada di Stadion Kanjuruhan berdasar UU Keolahragaan daripada berusaha mencari alat bukti yang mendukung pemenuhan unsur dalam Pasal 359 dan 360 KUHP. Yang paling jelas terlihat hingga hari ini adalah tidak satu pun dari anggota kepolisian yang menembakkan gas air mata ke arah penonton dihadirkan ke persidangan sebagai terdakwa.

Sebagai perumpamaan misalnya, saat ada sejumlah orang meninggal dan luka berat karena ditabrak bus yang dikendarai sopir yang mengebut secara ugal-ugalan lantaran dikejar setoran, penyidik seharusnya terlebih dahulu menetapkan sang sopir sebagai tersangka untuk diperiksa di persidangan. Apakah perbuatannya tersebut murni kesalahannya untuk memastikan adanya kelalaian, kesengajaan, atau bahkan perencanaan dalam peristiwa tabrakan tersebut. Namun, jika mengikuti logika penyidik dalam kasus tragedi Kanjuruhan, alih-alih memastikan sopir yang menabrak dijadikan tersangka untuk selanjutnya didakwa dan diperiksa di persidangan guna membuktikan kesalahannya, aparat malah menersangkakan pemilik perusahaan bus dan para supervisor yang mengawasi sopir tanpa sama sekali memeriksa kesalahan sang sopir.

Selain itu, yang aneh dari konstruksi BAP polisi yang kemudian menjadi dasar dakwaan jaksa adalah bagaimana komposisi saksi yang diperiksa di tahap penyidikan dan di persidangan mayoritas adalah anggota kepolisian. Setidaknya dari hasil pengamatan tim LPBHNU Kota Malang selama sidang Kanjuruhan di PN Surabaya dengan tersangka tiga anggota kepolisian, alih-alih melakukan pemeriksaan terhadap para suporter Aremania yang mengalami atau melihat sendiri luka berat atau meninggalnya ratusan korban Kanjuruhan, penyidik polisi malah memanggil anggota mereka sendiri untuk menjelaskan kejadian yang tidak berhubungan langsung dengan kematian ratusan suporter.

Terakhir, yang paling aneh adalah bagaimana fakta terkait gas air mata yang ditembakkan secara berlebihan oleh anggota kepolisian ke tribun penonton sebagaimana temuan Komnas HAM, TGIPF, dan video serta berita yang tersebar luas tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia berbeda dengan narasi yang ada dalam BAP yang didasarkan hanya pada rekonstruksi perkara yang menyimpulkan tidak ada satu pun gas air mata yang ditembakkan ke area tribun penonton. Anginlah yang kemudian membuat gas ini masuk ke tribun penonton.

Sayangnya, bias dalam BAP ini tidak dicek secara teliti oleh penuntut umum saat menerima berkas perkara dan seolah hanya menjadi tukang pos BAP ke persidangan. Lebih sial lagi, hakim sebagai wakil Tuhan yang seharusnya aktif bertanya menggali kebenaran materiil dalam persidangan seolah hanya menjadi tukang stempel BAP polisi. Secara sederhana tampak jelas bahwa proses peradilan tragedi Kanjuruhan sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di persidangan memang tidak diarahkan untuk mencari kebenaran materiil sebab (kausalitas) dari tragedi ini.

Sebagaimana dikatakan sahabat Ali ibn Abi Tholib bahwa ”Tidak ada benteng yang lebih kuat bagi pemerintahan kecuali keadilan”, maka tidak ada jalan lain kecuali menangani tragedi Kanjuruhan ini secara lebih adil dan berpihak kepada korban dengan cara meminta kepada Bareskrim Polri penyelidikan dan penyidikan ulang kasus ini secara transparan serta akuntabel. Dan, jika diperlukan dapat meminta supervisi dari Komnas HAM untuk menghindari bias dalam pengungkapan kasus ini. (*)

*) FACHRIZAL AFANDI, Pengajar Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Ketua LPBHNU Kota Malang

By admin