PADUSAN menjadi salah satu tradisi masyarakat Jawa menjelang bulan Ramadan. Ritual ini menjadi satu dari sekian banyak tradisi Jawa dalam meramaikan penyambutan bulan suci tersebut, selain nyandran (di Jateng), megengan (di Jatim), dan beberapa tradisi lainnya.

Padusan berasal dari kata adus (Jawa) atau mandi. Kata adus mendapat awalan pa dan akhiran an (pa-adus-an) berarti tempat adus. Atau dalam bahasa Indonesia, mandi mendapat awalan pe dan akhiran an (pe-mandi-an), yang berarti tempat mandi.

Tradisi padusan sudah dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat Jawa. Masyarakat beramai-ramai mendatangi tempat pemandian (padusan) terdekat dari tempat mereka tinggal. Mereka mandi besar. Menyucikan diri sebelum memasuki bulan suci dan menjalankan ibadah suci.

Tempat yang dipilih biasanya pemandian yang mata airnya langsung menyembur dari dalam tanah. Airnya melimpah, jernih, dan segar. Kolamnya juga besar (luas) atau luas sekali. Orang Jawa Tengah dan Jogjakarta biasa menyebut dengan umbul. Sedangkan di Jawa Timur sering disebut sumber. Ada juga yang menyebutnya sendang. Atau petirtan.

Sejak sepekan sebelum memasuki bulan Ramadan seperti sekarang ini, orang-orang, terutama yang tinggal di pedesaan, mulai mendatangi pemandian. Puncaknya terjadi pada dua atau sehari menjelang puasa. Waktunya bebas. Bisa malam atau siang hari. Yang memilih malam biasanya orang-orang tua dan mereka yang memiliki ’’laku” khusus. Tapi, bagi orang kebanyakan, mereka lebih memilih setelah subuh hingga sebelum magrib. Waktu di mana lokasi pemandian dalam keadaan terang.

Ritual ini menjadi meriah karena dilakukan secara massal. Ratusan hingga ribuan orang ramai-ramai menceburkan diri ke kolam yang sama. Atau sambil bermain menghanyutkan diri ke sungai yang airnya berasal dari umbul tersebut. Tapi, tentu saja tidak ada yang telanjang bulat. Mereka tetap berpakaian lengkap. Kecuali kaum pria yang sebagian melepas baju untuk telanjang dada.

Karena airnya terus menyembul dari dalam tanah dan terus mengalir, ribuan orang mencebur secara bersamaan pun tidak takut akan tertular penyakit kulit, misalnya. Apalagi takut airnya kotor. Sebab, air akan terus berganti dalam volume yang sangat besar, sehingga kolam pemandian yang luas itu airnya akan selalu jernih. Bahkan tidak sedikit yang meminumnya langsung.

Di beberapa tempat di Jawa Tengah, tradisi ini menjadi semacam festival. Ya, festival padusan. Sebab, pengelola mata air sering kali melengkapi kemeriahan dengan menampilkan berbagai hiburan rakyat. Juga bazar makanan.

Bahkan, pada era 1980-an hingga 1990-an, momen padusan ini benar-benar menjadi ajang bergembira ria bagi anak-anak dan remaja. Inilah saat yang ditunggu-tunggu untuk bersukacita, selain Lebaran yang akan datang sebulan berikutnya. Bukan sekadar bisa mandi ramai-ramai. Lebih dari itu. Momen spesial dari padusan yang ditunggu anak-anak dan remaja kala itu adalah perang air.

Di umbul Lebak, Boyolali, misalnya. Pada masa itu, momen perang air inilah yang paling meriah. Biasanya anak-anak dan remaja membeli plastik ukuran seperempat kilogram, kemudian diisi air. Plastik berisi air inilah yang menjadi senjata untuk kemudian dipukulkan kepada orang lain. Siapa saja yang ingin dijadikan sasaran. Yang seusia tentunya. Bahkan orang yang tidak dikenal sekalipun. Yang terkena hantam air boleh membalas, tapi tidak boleh ada yang marah. Seperti sudah ada kesepakatan tidak resmi bahwa siapa pun tidak boleh marah ketika terkena timpuk air.

Karena itu pula, ketika ada anak yang jengkel dengan temannya, maka momen inilah yang ditunggu untuk melampiaskan kekesalannya. Dia akan memukulkan plastik air itu sekeras-kerasnya ke tubuh kawannya tersebut. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengisi air tersebut dengan pewarna kue. Sehingga, baju mereka yang terkena timpuk akan berubah warna. Setelah itu, mereka akan tertawa-tawa.

Dua kabupaten di Jateng yang terkenal ramai saat padusan adalah Klaten dan Boyolali. Klaten terkenal memiliki puluhan umbul. Terutama yang tersebar di kawasan Janti, Cokro, dan Ponggok. Tiga titik yang saling berdekatan. Sedangkan di Boyolali paling tidak ada tiga umbul besar yang selalu ramai saat musim padusan. Yakni, Tlatar, Pengging, dan Lebak.

Kini, meski zaman sudah sedemikian modern, tradisi padusan masih dilestarikan masyarakat Jawa. Baik oleh orang-orang tua yang lebih serius dalam menjalankan ritual maupun kaum muda yang lebih menikmati kemeriahan. Selain melestarikan tradisi, juga menghidupkan pariwisata dan ekonomi lokal. Selamat berpadusan dan menyambut Ramadan. (*)

*) Direktur Jawa Pos Radar

By admin