IA menganggap sesama sastrawan, sesama seniman perlu saling menumbuhkan dan memperkaya karya masing-masing. Sejak tahun 2009, kali pertama saya berkenalan dengan Lily Yulianti Farid di Biennale Sastra di Salihara, Lily sudah menyatakan kegelisahannya tentang komunitas sastra Indonesia yang kurang memperhatikan para penulis di timur Indonesia.
”Tentu saja penulis sesungguhnya tak perlu mementingkan asal usul dan peta,” katanya dengan irama puitik, ”tapi saya gelisah karena begitu banyak kawan-kawan muda di daerah timur Indonesia yang berpotensi tak kunjung mempunyai kesempatan untuk menampilkan karyanya.”
Saat saya mendengarkan seluruh cerita Lily, kesan ia seperti seorang ibu yang resah karena karya anak-anaknya yang berbakat tak tersentuh. Belakangan saya baru memahami apa yang dikhawatirkan Lily bahwa betapa jauh kesempatan berbagai penulis berbakat di kawasan timur Indonesia: Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua. Lily meyakinkan saya betapa saya akan terkejut membaca karya mereka.
Apa yang diutarakan Lily terbukti. Pada tahun 2014, saya diundang menghadiri Makassar International Writers Festival (MIWF). Sebagai pimpinan festival, Lily ”menceburkan” saya ke dalam salah satu acara di mana saya berkenalan dan berbincang dengan sejumlah penulis yang usianya sepertiga usia saya, tetapi mengutarakan ide-ide novel mereka yang luar biasa. Saya merasa bukan saja penulis-penulis ini tidak diperhatikan, tetapi bahkan pembaca Indonesia ”dirugikan” karena tidak mempunyai kesempatan membaca karya mereka. Saya ingat di antara mereka adalah nama-nama seperti Faisal Oddang, Erni Aladjai, dan Felix Nessi, nama-nama yang saat itu belum dikenal dan kelak akhirnya diterbitkan penerbit besar setelah memenangkan berbagai penghargaan, produktif melahirkan karya-karya yang menukik, dan terpilih menjadi residensi penulis di berbagai tempat.
Saat itu pula saya memahami kegelisahan Lily dan saya merasa ingin membantunya sebisa saya, meski sekadar moril atau sekadar dari jauh, meski sekadar membahas karya-karya para penulis, atau jika memungkinkan: menghadiri festival jika dibutuhkan.
Sesungguhnya, MIWF yang merupakan salah satu program dari Yayasan Rumah Budaya Rumata –didirikan oleh sutradara Riri Riza dan Lily Yulianti Farid– lahir sejak tahun 2011. Meski Lily mempunyai cita-cita untuk menampilkan para penulis dari timur Indonesia, tentu saja para seniman yang diundang datang dari berbagai penjuru Indonesia dan luar negeri untuk bertukar pengalaman. ”Dengan berbincang, berdiskusi, bahkan melalui workshop, para penulis baru akan menggali banyak hal di luar dirinya, di luar dunia yang dikenalnya, dan belajar bagaimana mengelola imajinasinya,” kata Lily saat kami melakukan perjalanan book tour di beberapa kota di Australia tahun 2014 silam. Lily memberi contoh bagaimana penyair Sapardi Djoko Damono adalah seorang sastrawan yang sangat rendah hati dan bersedia menyapa setiap penulis dari berbagai kalangan dan menjawab semua pertanyaan mereka. Empat belas hari mengelilingi beberapa kota, di antaranya Tasmania, Melbourne, dan Perth, Lily tak banyak membahas karyanya sendiri meski sebetulnya dia diundang karena kumpulan cerpen Family Room yang merupakan terjemahan John McGlynn dari kedua kumpulan cerpen Makkunrai dan Maiasaura. Cerita-cerita Lily, menurut saya, mencakup berbagai tema: perempuan, gender, sosial-politik yang ditulis dengan penuh humor. Di Australia, Lily justru lebih bersemangat menceritakan MIWF dan memperkenalkan kekayaan Indonesia Timur. Hasilnya memang bersinar. Festival ini tidak hanya memperkaya festival sastra yang sudah ada, tetapi juga menjadi aktivitas sastra yang diakui. Tahun 2020 lalu, MIWF memperoleh International Excellence Award dari London Book Fair untuk kategori Festival Sastra Terbaik. Ini adalah sebuah pencapaian yang membanggakan, terutama bagi Lily. Bagaimanapun, seperti dikatakan sutradara Riri Riza, ”MIWF adalah Lily”.
Lahir di Makassar, 16 Juli 1971, Lily adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan H Hideng dan Mastina. Meski sejak usia dini Lily sudah menulis fiksi, perhatiannya pada masa remaja dan dewasa didedikasikan pada dunia akademis. Lily menyelesaikan S-1 ilmu pertanian di Universitas Hasanuddin tahun 1994, lalu bergabung dengan harian Kompas hingga tahun 2000. Tertarik dengan studi gender, Lily mendalami S-2 dan S-3 di University of Melbourne.
Dengan kesibukannya mengajar di Melbourne itulah, Lily membangun dan terus merawat perjalanan MIWF bersama timnya, Aan Mansyur, Shinta Febriany, dan Ita Ibnu. Dalam keadaan sakit pun, melalui media sosial, Lily menceritakan dengan terbuka pengobatan demi pengobatan dengan keriaan dan optimistis. Para kawan, termasuk saya, juga ikut dengan keriaan dan keceriaan Lily menghadapi segala mala. Kepergiannya pekan lalu tentu saja adalah sebuah kehilangan besar. Bukan saja bagi keluarga, Farid Ibrahim sang suami dan putra tunggal mereka, Fawwaz Naufal Farid, tetapi juga bagi kawasan timur yang dirawatnya dan sastra Indonesia.
Lily bukanlah setangkai bunga yang ingin melambai-lambai sendirian. Dia adalah matahari yang ingin membuat semua bunga mendapatkan curahan sinar. (*)