JawaPos.com – Nomo Koeswoyo adalah petarung dan pengelana. Dari Surabaya sampai Medan pernah dia jelajah, menjajal beragam pekerjaan.
Itu yang membuatnya telat bergabung dengan saudara-saudaranya.
Kakak-kakak dan adik-adiknya telah membentuk Kus Brothers yang kemudian jadi Koes Bersaudara dan kelak menjelma Koes Plus.
Belajar drum pun baru dia jalani secara mendadak saat itu. Dasar sosok yang tahan banting, dengan cepat alat musik itu dikuasainya.
Tapi, seorang pejalan, sejauh apa pun itu, akan selalu sampai di ujung jalan. Pada Rabu (15/3) malam lalu, founding father atau pendiri salah satu band terpenting dalam sejarah musik Indonesia itu berpulang di kediamannya di Magelang, Jawa Tengah, pada usia 85 tahun.
Anak kelima dari sembilan bersaudara itu menyusul saudara-saudaranya pembentuk Koes Bersaudara yang lebih dulu berpulang: Tonny, Yon, dan John. Dari formasi awal band penelur hit ”Bis Sekolah” dan ”Telaga Sunyi” itu, kini tersisa Yok Koeswoyo.
Nomo dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan, kemarin (16/3). Sari Yok Koeswoyo, keponakan Nomo yang merupakan putri Yok, menjelaskan bahwa pamannya tersebut meninggal bukan karena anfal atau sakit. Melainkan faktor usia yang memang sudah sepuh. ”Memang kurang sehat dan bukan sakit. Pakde sudah berumur juga,” papar Sari setelah mengantarkan Nomo ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Sebelum meninggal, Nomo memang tidak bisa lagi beraktivitas normal. Bahkan, makan dan minum pun tak lagi bersemangat. ”Namanya orang tua, sudah malas makan, nggak mau minum juga. Mungkin lemas,” ujar Sari.
Di matanya, Nomo merupakan sosok pejuang untuk keluarga besarnya. Juga humoris dan penyayang. Karena itu, kepergian pria kelahiran Tuban tersebut menorehkan luka mendalam bagi keluarga.
”Pakde tuh warrior (petarung)-nya keluarga Koeswoyo. Semua orang menyayangi beliau,” jelas Sari.
Kepedihan atas meninggalnya Nomo juga dirasakan Jeffry Daniel Waworuntu. Meski persahabatan mereka terpisah jarak Jakarta–Magelang, suami penyanyi senior Ruth Sahanaya itu tak pernah lepas komunikasi dengan Nomo melalui salah seorang putrinya, Chicha Koeswoyo.
”Sudah tiga tahun terakhir saya dekat dengan keluarganya. Memonitor kondisinya lewat video call,” jelas dia.
Jasa besar Nomo bagi musik Indonesia tak hanya berkat perannya dalam Koes Bersaudara. Dia juga berkiprah lewat No Koes, band yang dibentuknya setelah tak lagi tergabung dalam Koes Bersaudara. Dia juga menjadi produser sejumlah artis yang kemudian melejit. Franky Sahilatua dan Enny Haryono di antaranya.
Chicha pernah merasakan sentuhan tangan dingin sang ayah di musik. Lewat ”Matahari”, ”Pulang Sekolah”, dan ”Heli”, Chicha tumbuh menjadi bintang anak yang kepopulerannya bertahan bahkan saat beranjak dewasa. Nomo pun pernah menjadi penata musik di film Gejolak Kawula Muda yang juga dibintangi sang putri.
Semangat Nomo dalam bermusik juga masih membara di usianya yang senja. Jeffry mengungkapkan bahwa Nomo pernah tampil di salah satu kafe sebelum kondisinya menurun.
”Ada event Koes Ploes, beliau hadir. Musik adalah belahan jiwanya. Tidak bisa dipisahkan,” beber Jeffry.