City Walking Tour Susuri Sejarah Kota Tua Gresik
Dari Kampung Asu, city walking tour mengajak para peserta menyusuri kampung emas dan menemukan jejak potret toleransi di pecinan yang bersebelahan dengan kampung Arab. Berawal dari kegelisahan enam anak muda yang harus pulang kampung karena pandemi.
LAILATUL FITRIANI, Surabaya
—
PERJALANAN pagi itu kami mulai dari Kampung Asu. Yang akan kami susuri sudut-sudut kota tua Gresik, Jawa Timur, bukan hendak adu adrenalin menghindari dikejar anjing kok.
”Penamaan gang di sekitar sini organik berdasar pengalaman warganya. Dulu banyak keturunan Tionghoa di sini. Mereka memelihara anjing. Jadi, begitu ada yang masuk gang, digonggongin,” terang Hafidz Hendrawan yang pada Minggu (5/3) pagi lalu itu bertindak sebagai pemandu city walking tour bagi kelima partisipan, termasuk Jawa Pos.
Titik kumpul kami di sebuah rumah makan sekaligus communal space bernama Kammari. Hafidz sendiri satu dari enam founder Kammari yang menginisiatori city walking tour (tur jalan kaki susuri kota).
Hafidz, Bahari, Reka, Rizky, Wildan, dan Ishomudin adalah teman satu SMA. Begitu kuliah dan bekerja, semuanya menyebar ke kota orang untuk merantau. Tapi, pandemi membawa mereka kembali ke kota asal di pantai utara Jawa Timur itu.
”Di sini bingung, nongkrong-nongkrong terus mikir bikin apa enaknya. Akhirnya 2021 sewa tempat, ketemu di sini,” ujar Hafidz.
Selama setahun mereka membersihkan sendiri bangunan tua yang sudah reyot dan lama tak terurus itu. Saat ingin merenovasinya, Hafidz cs tidak ingin bangunan tersebut kehilangan jejak sejarah dan lokalitasnya.
Mereka pun meriset berbagai sumber. ”Kami hire SB301 (studio arsitektur yang berbasis di Surabaya, Red) sebagai arsitek. Tapi, mereka harus tahu kota ini, seperti apa sosiokulturnya, arsitekturnya. Jadi, ketika mereka tiba di sini, kami ajak walking tour,” ungkap pemuda 29 tahun itu.
Pada akhir 2022, Kammari dan SB301 menggelar sebuah pameran tentang arsitektural dan sosiokultural. Pengunjung yang datang juga diberi sebuah peta sehingga bisa berjalan-jalan mengeksplorasi daerah sekitar. ”Jadi, city walking tour itu ekstensi program dari pameran kami bersama SB301 pada 10–18 Desember tahun lalu,” lanjut Hafidz.
Peminat city walking tour makin melejit ketika salah seorang partisipan me-review-nya lewat thread Twitter dan viral. ”Saat itu aku lagi di lapangan, survei sawah, handphone-ku panas. Bergetar terus kan banyak notifikasi masuk nanyain city walking tour,” imbuh Bahari Teranggono Simamora, anak Kammari lainnya.
Alumnus Universitas Jember itu mengaku tidak menyangka. Sebab, niat awalnya membangun Kammari sebagai rumah praktik mereka selama WFH. Ada yang gemar mengulik kuliner, bermusik, hingga berdagang merchandise. Keenamnya juga berasal dari background pendidikan berbeda yang tak satu pun anak sejarah.
”Kami pengin mengajak teman-teman kembali bermain lagi di kota tua karena dulu kota tua ini sempat berjaya,” ujar Bahari.
Begitu agenda walking tour dikenal, mereka sampai harus membuka empat sesi di sore dan malam hari setiap Sabtu dan Minggu. Dan ternyata cukup kewalahan karena tiga lainnya sudah harus kembali ke tanah rantau. Bahari sendiri juga harus pergi pulang ke Surabaya untuk bekerja.
”Jadwal kami kurangi jadi setiap Minggu dan dibatasi lima partisipan. Kami sharing sama teman-teman yang mengurus tur, ternyata untuk jalanan Gresik optimalnya lima orang,” terangnya.
Partisipan didominasi anak muda rentang usia 20–30 tahun. Tak hanya dari Gresik, tapi juga kota-kota lain seperti Bandung, bahkan pernah ada bule asal London, Inggris, yang ikut. Sebagaimana pada Minggu pagi itu, ada yang dari Sidoarjo, ada pula yang dari Jogjakarta.
”Aku melihat kecenderungan kenapa anak-anak muda ini tertarik, sepertinya mereka sudah bosen dengan liburan template. Pengin liburan yang jarang, apalagi kota-kota yang jarang dieksplor seperti Gresik. Yang orang tahunya isinya pabrik atau ziarah wali,” bebernya.
Dari Kampung Asu, kami menyusuri gang-gang kecil menuju Kampung Kemasan. Sederet rumah di sana didominasi cat merah dengan arsitektur campuran antara Tiongkok, Melayu, dan kolonial Belanda. ”Dulu ada pengusaha emas dari Tiongkok. Dia bikin industri emas dan saking suksesnya daerah sini dikenal sebagai sentra perajin emas. Itu sekitar 1850-an,” jelas Hafidz.
Keluar dari Kampung Kemasan, Hafidz membawa kami ke Jalan Nyai Ageng Arem-Arem untuk mengunjungi Rumah Gajah Mungkur. Perjalanan berlanjut ke bekas Stasiun Kota Gresik.
Tak jauh dari sana ada satu kompleks makam dari ibu angkat Sunan Giri, Nyai Ageng Pinatih, seorang syahbandar wanita dari kerajaan muslim Champa di Kamboja. Sebelum ke kawasan pecinan, Hafidz mengajak kami makan jubung di toko pudak legendaris milik keturunan Tionghoa-Jawa.
Destinasi berikutnya adalah Kelenteng Kim Hin Kiong yang dibangun untuk memuja Dewi Laut. Di sini pecinan dan kampung Arab terletak bersebelahan. Bahkan, di sebelah kelenteng terdapat rumah produksi sarung tenun yang pemiliknya orang Arab. Sebuah potret jejak toleransi di kota tua Gresik.
Bahari menyebutkan, beberapa partisipan dari Gresik yang sempat dia pandu bahkan baru tahu sejarah kota mereka di masa kolonial dari kegiatan itu. Walking tour tersebut juga berhasil memantik partisipan dari luar Gresik untuk menginisiatori kegiatan yang sama di kota asalnya.
Respons dari warga sekitar pun sangat positif. Sudah biasa bagi warga, kata Hafidz, melihat rombongan anak muda berjalan kaki menyusuri gang-gang rumah. Bahkan, ada yang meminta mereka mengurus bangunan kosong yang lama tidak terawat.
”Sudah di-approach Pemkab Gresik juga setelah viral itu, tapi belum tahu mau kerja sama apa. Kammari sendiri berencana membuat tur kuliner Gresik,” kata Bahari.