JawaPos.com – Fenomena no viral no justice menunjukkan pergeseran orientasi pengungkapan perkara. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut fenomena itu terjadi lantaran masyarakat mulai tidak percaya dengan sistem penegakan hukum saat ini. Terutama penegakan terhadap kasus-kasus yang terafiliasi dengan aparatur negara.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, dalam konteks mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Rafael Alun Trisambodo, mobilisasi masyarakat di ruang digital punya peran penting.
Tanpa keriuhan di media sosial, Kurnia meyakini kecil kemungkinan indikasi ketidakwajaran harta kekayaan Rafael terungkap. ”Kami tidak melihat aparat penegak hukum bergerilya mengungkap ketidakwajaran itu meski (ketidakwajaran LHKPN, Red) sudah terendus lama,” kata Kurnia kepada Jawa Pos kemarin (13/3).
Namun, yang menjadi catatan ICW, kasus-kasus yang ramai diperbincangkan di media sosial tidak maksimal ditangani aparat penegak hukum. Contohnya, kasus pelanggaran kode etik Ketua KPK Firli Bahuri. Kurnia menyebutkan, aduan ICW terkait hal itu mentah di tangan Dewan Pengawas (Dewas) KPK. ”Padahal, kami menilai buktinya cukup kuat,” tuturnya.
Menurut Kurnia, dalam konteks penanganan kasus Rafael, KPK mengalami situasi yang sama dengan lembaga penegak hukum lain. Yakni, tidak dipercayai masyarakat. ”Situasi ini sudah dialami institusi Polri sebelumnya. Kasus-kasus pidana umum yang tidak jalan di kepolisian akhirnya ditindaklanjuti setelah viral,” kata Kurnia.
Mantan Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono mengakui penghargaan bagi pelapor kasus korupsi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018 kurang menarik lantaran rumitnya prasyarat dan ketentuan dalam aturan itu. ”Padahal, PP ini sebenarnya sangat jelas mengatur itu (reward bagi pelapor, Red),” ujarnya.
Pengalaman Giri selama bertugas di KPK, premi 2 permil dari kerugian negara atau uang suap itu baru bisa dicairkan ketika kasus-kasus yang dilaporkan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Itu menjadi salah satu penyebab penegak hukum atau pelapor tidak melakukan klaim premi tersebut.
”Kalaupun ada klaim, anggaran premi itu harus dialokasikan dulu di APBN. Itu membuat prosesnya tambah panjang lagi,” terangnya.