Perpindahan Ronaldo ke klub Arab Saudi usai Piala Dunia telah memberi imbas negatif kepadaku. Keputusan pemain berjuluk El Bicho itu mendapat cemoohan banyak orang karena langkah tersebut dianggap pertanda meredupnya karier pemain terbaik dunia lima kali itu.

SEPERTI halnya Ronaldo, aku pun dihujani cemoohan. Mulanya orang-orang hanya berdesas-desus di belakangku, tetapi kemudian mereka terang-terangan menyindirku. Bahkan sebuah julukan baru disematkan kepadaku: germo untuk istri sendiri. Itu konyol. Akan tetapi, setelah kupikir-pikir mungkin tuduhan itu ada benarnya.

Tuduhan itu bermula ketika istriku ambruk dan harus dirawat di rumah sakit. Suhu tubuhnya mencapai 39 derajat Celsius. Dia menggigil sepanjang malam. Meski aku sudah menyelimutinya dengan selimut angry bird tebal milik Kania –anakku yang berusia lima tahun– dia tetap berkata kedinginan. Obat penurun panas yang kubeli di warung sebelah rumah juga tidak mempan. Aku pun terpaksa membawanya ke rumah sakit.

Seorang dokter muda kemudian melakukan pemeriksaan. Hasilnya, istriku harus dirawat inap. Lalu dua orang suster membawa istriku ke kamar kelas melati yang berisi empat orang pasien. Aku lega, setidaknya kamar itulah yang sesuai dengan isi dompetku di akhir bulan. Sebenarnya di tempat kerjaku ada fasilitas asuransi, tetapi tidak mencakup untuk istri dan anak-anakku. Saat aku hendak mendaftarkan mereka ke asuransi kesehatan berbiaya murah, istriku justru mengomel dan tidak setuju. Dia tidak mau jatah uang dapurnya yang sudah sedikit semakin menipis.

”Orang miskin ndak boleh sakit. Jadi ndak usah pakai asuransi segala. Mending uangnya buat makan. Bisa bayar asuransi tapi ndak bisa makan, malah mati,” kata istriku dengan nada sewot.

Penghasilanku sebagai satpam di pusat kebugaran memang tidak seberapa. Meski jarak antara tempat kerja dan kampungku mencapai 10 kilometer, aku tetap menjalani pekerjaan itu dengan senang. Setidaknya, aku bisa pamer seragam dan sepatu lars kepada teman-teman di kampung. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai kuli bangunan atau buruh tani di sawah, yang tentu saja tidak akan punya seragam atau sepatu lars sepertiku.

Kepada mereka, kubesar-besarkan pendapatanku. Padahal sebenarnya jika ditotal lalu dibagi jumlah jam kerja selama sebulan, masih lebih mahal tenaga mereka sebagai buruh tani atau kuli bangunan per jamnya.

Dengan penghasilan yang tidak sampai tiga juta, aku selalu berpesan kepada istriku untuk irit. Untungnya dia termasuk perempuan yang sangat pandai mengelola keuangan keluarga. Meski begitu, tetap saja sekali waktu mengeluh karena uang jatahnya tidak cukup dan minta tambah. Maka saat kutawari untuk mendaftar asuransi dan harus membayar dua ratus ribu per bulan untuk kelas dua, dia menolak dengan tegas.

Aku menghela napas panjang mengingat dilema asuransi itu. Sambil menunggui istriku yang masih tertidur, aku mengeluarkan dompet yang sudah setipis kopiah. Di dalamnya empat lembar uang ratusan terselip di antara KTP dan kartu ATM. Aku berharap uang sisa gaji bulan itu bisa untuk membayar biaya rumah sakit. Atau jika tidak cukup aku akan menggalang dana untuk membayar biaya rumah sakit istriku.

Setelah dirawat selama tiga hari di rumah sakit, dokter akhirnya memperbolehkan istriku pulang. Dan sesuai tebakanku, uang yang kusiapkan kurang. Penggalangan dana urung kulakukan –aku tidak yakin para kerabat dan tetangga akan menyumbang. Dengan terpaksa aku berutang kepada kawanku, salah satu buruh tani yang kerap kupameri seragam. Kawanku itu akhirnya memecah bumbungan bambu yang dia gunakan sebagai celengan.

Setelah pulang dari rumah sakit, istriku bisa beraktivitas normal kembali. Dan, aku kembali mengantarnya ke kota kecamatan setiap hari untuk latihan. Sebelum sakit, dia memang sibuk latihan. Aku sengaja mendaftarkannya ke sebuah grup kasidah di kota kecamatan karena kudengar permintaan manggung grup kasidah meningkat. Pimpinan grup kasidah itu, Bang Osman, pelanggan di tempatku bekerja. Bang Osman sempat bercerita bahwa dia sedang mencari vokalis pendamping. Sebab vokalis pendamping sebelumnya mengundurkan diri usai melahirkan.

Melihat peluang untuk meningkatkan pendapatan keluarga, kutawarkan hal tersebut kepada istriku. Kutahu sejak remaja dia sangat suka tampil salawatan di acara-acara madrasah dan arisan kampung. Merasa mendapat kesempatan untuk kembali menjalani hobinya, dia pun setuju dan antusias memintaku mendaftarkannya. Konsekuensi anggota baru, istriku harus berlatih secara rutin untuk menyelaraskan suaranya dengan musik dan dengan vokalis lainnya.

Kemudian kesibukan latihan itu yang membuat istriku jatuh sakit. Warga kampung tidak pernah mau tahu perihal upaya kami menghasilkan pendapatan tambahan. Mereka hanya melihat hampir setiap sore, aku akan memboncengkan istriku pergi ke kota dan baru pulang setelah hampir tengah malam. Latihan-latihan itu memang cukup menguras tenaganya. Apalagi sejak dia mulai ikut tampil memenuhi undangan di berbagai daerah. Saat aku piket berjaga, Bang Osman mengutus sopirnya untuk mengantar dan menjemput istriku. Desas-desus buruk soal istriku pun mulai berembus.

Puncaknya, saat istriku mendapat paspor pertamanya. Dia pamer paspor itu di mana-mana. Ya, di medsosnya, status WhatsApp-nya, atau saat ngobrol di warung. Istriku memang senang bukan main ketika tahu akan tampil kasidahan di luar negeri pertama kalinya. Rupanya grup kasidahan Bang Osman mendapat undangan dari KBRI Jerman untuk tampil di acara pengajian di sana.

Entah siapa yang memulai bergosip miring soal rencana kepergian istriku. Orang-orang mulai menuduh, aku mendaftarkan istriku menjadi TKW di Arab setelah pamer paspor di mana-mana.

”Loh, Ronaldo saja pindah ke klub Arab, masak istriku enggak?” kelakarku setiap kali ditanya apa benar istriku akan ke Arab. Rupanya kalimatku –yang kulontarkan sembarangan itu– menjadi bumerang dan seolah membenarkan tuduhan mereka perihal istriku yang menjadi TKW.

”Kamu memangnya ndak tahu kalau perempuan yang kerja jadi TKW seringnya pulang-pulang sudah hamil, bawa anak, terus ujung-ujungnya nyerein suaminya. Kamu mau begitu?” tanya temanku dengan muka sangat prihatin.

”Yo, selama dapat duit, ndak masalah,” jawabku sambil mengepulkan asap rokok. Temanku semakin heran. Kepalanya menggeleng pelan.

Sejak istriku sibuk manggung bersama grup kasidahnya, pendapatan keluarga kami memang lebih baik. Setidaknya, istriku tidak lagi mengeluh perihal nafkah pemberianku yang pas-pasan. Dia bahkan bisa membeli beberapa perhiasan –katanya untuk investasi di saat-saat darurat. Meski nyatanya saat aku butuh untuk membayar uang rumah sakit, dia tidak mengizinkan perhiasannya dijual.

Nah, setelah semua persiapan dilakukan: paspor, visa, dan latihan yang lebih rutin, tiba juga waktu istriku harus berangkat. Istriku bahkan perlu mengungsikan anak kami yang berusia lima tahun ke rumah orang tuanya di kampung yang lain.

”Jadi, istrimu sudah bertemu Ronaldo di Arab sana?” tanya salah satu kawanku dua hari setelah mobil Bang Osman menjemput istriku.

”Belum, dia ke Portugal dulu. Sowan ke ibunya Ronaldo.”

”Kalau istrimu sudah di Arab dan bertemu Ronaldo, dia pasti akan lupa sama kamu, Min.”

”Ndak apa-apa, yang penting kiriman lancar.”

”Kamu ikhlas melepas istrimu untuk Ronaldo?”

”Yo piye maneh, kalau mereka saling suka.”

Perbincangan ngawur itu terjadi di teras rumahku. Beberapa kawan –yang mengaku prihatin karena aku ditinggal istriku ke luar negeri– mendatangiku. Mungkin mereka bermaksud menghiburku.

Dan kuakui, upaya mereka menyenangkan hatiku berhasil. Setelah mereka pulang, aku tidak berhenti tertawa. Bagaimana mungkin istriku akan bertemu Ronaldo? Ronaldo pemain sepak bola dan pindah ke klub di Arab. Sementara istriku ikut grup kasidah yang tampil di Jerman. Dua negara itu berjarak 5.398 kilometer!

”Sejak Ronaldo pindah ke klub Arab, undangan grup kasidah untuk tampil meningkat. Ini malah ada undangan dari KBRI Jerman. Ini sungguh luar biasa. Rupanya, efek domino Ronaldo pindah klub itu salah satunya meningkatkan semangat keislaman banyak orang,” ujar Bang Osman. Kutahu tentu saja itu adalah analisis ngawur.

Aku jadi teringat ucapan Bang Osman saat meminta izin untuk membawa istriku tampil kasidahan di Jerman. Aku saat itu hanya manggut-manggut. Tentu saja aku tidak percaya bahwa dampak Ronaldo pindah ke klub Arab adalah meningkatnya semangat keislaman di berbagai negara.

”Keputusan Ronaldo pindah klub Arab memang betul. Bisa jadi setelah ini akan banyak penggemar dia yang masuk Islam,” kataku menambahi analisis ngawur Bang Osman kala itu.

”Iya, buat apa susah-susah berdakwah kepada umat. Buat saja satu orang pesohor pindah agama, ikut semua follower-nya. Dan grup kasidahku tentu akan semakin sering tampil,” sahut Bang Osman. Matanya menerawang jauh. Mungkin dia sedang menghitung berapa uang yang bisa diperolehnya.

Aku tersenyum mengingat percakapan itu. Aku sebenarnya tidak peduli Ronaldo mau pindah ke klub Arab atau efek domino yang ditimbulkan karenanya. Aku hanya peduli pada peningkatan pendapatan keluargaku.

Tidak apa orang-orang menuduhku macam-macam. Meski kepindahan Ronaldo memberi imbas negatif pada citraku, setidaknya ada juga imbas positif bagi pendapatan keluargaku. Aku justru berharap lebih banyak lagi pemain bola yang pindah ke klub Arab supaya kasidah pimpinan Bang Osman lebih banyak nanggap. (*)

PUSPA SERUNI

Penulis kelahiran Situbondo. Saat ini menjadi pengajar di Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana, Bali.

By admin