JawaPos.com – Tingginya angka warga Indonesia yang berobat ke luar negeri (LN) menjadi catatan penting bagi pemerintah. Tercatat setiap tahun setidaknya 2 juta warga memilih berobat ke Malaysia, Singapura, Jepang, Amerika dan negara lainnya. Hal itu membuat Indonesia berpotensi kehilangan Rp 165 triliun devisa.
Persepsi kualitas pelayanan medis lebih baik, jenis layanan lebih lengkap didukung teknologi informasi dan teknologi medis terkini, serta harga yang lebih pasti menjadi beberapa alasan WNI berobat ke luar negeri.
Di lain sisi, Indonesia memiliki potensi mengembangkan industri wisata medis karena telah memiliki 374 rumah sakit kelas A dan B yang terakreditasi internasional, serta memiliki destinasi wisata kelas dunia. Keunggulan ini seharusnya mampu membuat Indonesia menjadi tujuan wisata medis atau medical tourism.
Praktisi medis, Ediansyah melakukan penelitian yang dituangkan dalam disertasi terhadap persoalan tersebut. Ediansyah sebagai promovendus mengkaji kinerja rumah sakit dipengaruhi berbagai faktor melalui pengembangan kemampuan networking serta peran dari ekosistem dalam wisata medis.
Untuk mendukung penelitiannya, promovendus mengumpulkan data secara online melalui kuesioner yang dibagikan kepada direktur rumah sakit kelas A dan B yang terakreditasi, baik nasional maupun internasional. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kemampuan berjejaring, orientasi pasar, serta integrasi sumber daya berpengaruh positif terhadap kinerja rumah sakit.
“Salah satunya adalah bagaimana ekosistem wisata medis dapat memperkuat hubungan antara kinerja rumah sakit dengan kemampuan berjejaring,” kata Ediansyah dalam Sidang Promosi Doctor of Research in Management (DRM) BINUS Business School di Jakarta, Sabtu (11/3).
Direktur Rumah Sakit An-Nisa Tangerang ini menyarankan rumah sakit, harus menyediakan sumber daya manusia dengan kemampuan komunikasi yang baik.
“Ternyata komunikasi (dengan) pasien kurang. Ini harus kita tingkatkan, di samping melakukan transformasi digital,” ucap Ediansyah.
Selain itu, rumah sakit harus memiliki layanan unggulan dengan melihat kebutuhan pasar. “Rumah sakit harus kembangkan layanan unggulan, BPJS itu layanan standar, wisata medis harus layanan unggulan,” jelasnya.
Ediansyah lantas menyarankan pemerintah untuk mendukung transformasi wisata medis dengan membentuk wadah bagi stakeholder ekosistem wisata medis. Pemerintah juga perlu memberikan insentif kepada rumah sakit yang fokus beralih ke wisata medis, misalnya dengan meringankan pajak pembelian alat kesehatan, sehingga tak lagi dikenakan pajak barang mewah.
“Di Malaysia itu pembelian alat kesehatan pajaknya nol. Jadi bisa lebih berpengaruh terhadap biaya yang lebih murah,” ungkapnya.
Mewujudkan wisata medis bisa juga harus meningkatkan dalam aspek kemudahan pasien mendaftar, kemudahan mengetahui layanan, antar rumah sakit bisa melakukan sinkronisasi data pasien, dan lain sebagainya.
Sementara itu, Deputy Head of Doctor of Research in Management BINUS Business School, Sri Bramantoro Abdinagoro mengatakan, pihaknya mendukung penuh upaya mewujudkan wisata medis ini. Dari sisi akademisi akan fokus meningkatkan SDM.
BINUS juga rutin mengger workshop, pelatihan dan sebagainya. Selain itu, kampus menerapkan standar tinggi dalam proses kelulusan program doktoral.
“3 tahun harus jadi doktor, kalau 3 tahun belum proposal, kita anggap tidak serius, kita minta undur diri. Terakhir 5 tahun, kita batas maksimal, kalau belum juga kita minta mahasiswa itu mundur,” tukasnya.