JawaPos.com – Tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) memandang kinerja penanganan perkara di Indonesia masih belum optimal dan transparan sehingga dapat menjadi celah terjadinya tindak pidana korupsi. Hal ini dibuktikan dari masih adanya oknum lembaga peradilan yang terjerat tindak pidana korupsi dan saat ini kasusnya ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan, untuk mengatasi persoalan tersebut, tim Stranas PK mendorong penguatan sistem penanganan perkara pidana terpadu antara penegak hukum dengan aksi Penguatan Sistem Penanganan Perkara Tindak Pidana yang Terintegrasi (SPPTI). Aksi ini sekaligus sebagai upaya perbaikan lembaga peradilan yang turut dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).
“Jika sistem ini sudah terbangun maka setiap Aparat Penegak Hukum (APH) dan masyarakat bisa saling memonitor, mengontrol, dan mengawasi perkara yang sedang ditangani,” kata Alex dalam kegiatan Penandatanganan Komitmen Fokus 3 Pelaksanaan Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024 di Kementerian PAN-RB, Jakarta, Jumat (10/3).
SPPTI juga akan menjadi tools agar tidak lagi ada tumpang tindih penanganan perkara antar aparat penegak hukum (APH). Harapannya, penanganan perkara semakin cepat dilakukan dan pada akhirnya memberikan kepastian hukum bagi pelbagai pihak.
“Nantinya, jika ada perkara dan sudah ditangani oleh salah satu APH, maka APH lainnya akan melimpahkan informasi yang dimiliki untuk mendukung penanganan perkara,” papar Alex.
Sementara itu, Hakim Agung Dwiarso Budi Santiarto menyambut baik penguatan sistem SPPTI bagi para aparat penegak hukum. Menurutnya, prioritas MA saat ini tidak hanya memberikan putusan yang adil, konsisten, dan berkualitas namun juga harus menjunjung transparansi serta akuntablitas.
Hal ini merupakan tuntutan dari masyarakat Indonesia yang menginginkan lembaga peradilan yang bersih dari tindakan tidak terpuji.
“Poin itu menjadi prioritas MA yang paling tinggi saat ini. Misalnya ada putusan hari ini maka besoknya masyarakat sudah dapat mengakses putusannya,” ungkap Dwiarso.
Ia mengakui, keterbukaan terhadap masyarakat dapat menghindari konflik kepentingan terhadap penanganan perkara. MA juga akan melakukan revitalisasi sistem penerimaan pengaduan MA (Siwas) untuk memperluas akses dan memotivasi pelapor, terutama kalangan internal menyampaikan dugaan pelanggaran aparatur, termasuk potensi Conflict of Interest.
“Di sisi lain, keterbukaan informasi ini juga sebagai upaya pencegahan adanya Conflict of Interest yang meliputi hakim dan aparatur pengadilan,” pungkasnya.