JawaPos.com–Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menyatakan, kebijakan sekolah pukul 05.30 rawan memicu kekerasan seksual pada anak atau pelajar. Sehingga, LPA NTT menolak kebijakan tersebut.
”Kami secara tegas menolak kebijakan masuk sekolah pukul 05.30 karena tidak mewakili kepentingan terbaik anak. Salah satunya membuat mereka berada dalam kondisi rawan kekerasan seksual,” kata Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Nusa Tenggara Timur Veronika Ata seperti dilansir dari Antara di Kupang, Jumat (10/3).
Kebijakan masuk sekolah pukul 05.30 wita diberlakukan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur terhadap 10 sekolah SMA/SMK di Kota Kupang.
Veronika mengatakan, kebijakan tersebut mengharuskan anak-anak pelajar berangkat ke sekolah sebelum pukul 05.30 wita dalam kondisi hari yang masih gelap. Di sisi lain, transportasi tidak tersedia bagi sebagian besar pelajar. Banyak pelajar ke sekolah dengan berjalan kaki.
”Kondisi ini menempatkan anak-anak pelajar terutama perempuan rawan menjadi korban kekerasan seksual,” ujar Veronika Ata.
Menurut dia, kebijakan itu bertolak belakang dengan semangat pemerintah bersama berbagai elemen mencegah dan melindungi anak-anak dari praktik kekerasan seksual. Efek lain yang merugikan anak seperti waktu istirahat terganggu membuat anak-anak mengantuk di sekolah dan tidak mengikuti proses belajar mengajar secara efektif.
”Para pelajar juga bisa stres dan semangat belajar menurun,” papar Veronika Ata.
Dia menjelaskan, tidak ada korelasi disiplin dan kecerdasan anak dengan masuk sekolah pukul 05.30. Bentuk disiplin sebagai dalih dari kebijakan itu, adalah hal yang dibuat-buat dan pemikiran pribadi tanpa kajian yang matang.
”Karena itu, kami menolak dengan tegas kebijakan ini karena menyengsarakan murid, orang tua, dan guru. Bahkan meresahkan masyarakat,” tutur Veronika Ata.
Veronika menambahkan, pihaknya tidak sepakat dengan penerapan kebijakan tersebut dengan dalih mempersiapkan para pelajar untuk bisa masuk ke perguruan tinggi ternama seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, maupun di luar negeri.
”Kualitas seseorang tidak diukur dari tamatan universitasnya. Banyak alumni universitas selain yang disebutkan memiliki kualifikasi yang prima,” ucap Veronika Ata.