ALAMANDA Shantika Santoso sadar bidang yang dia geluti bersifat maskulin. Porsi laki-laki jauh lebih besar ketimbang perempuan. Namun, dia tidak mempermasalahkannya. Berawal dari layanan jasa pembuatan website, Ala pernah menjadi vice president of product Go-Jek hingga mendirikan sekolah coding Binar Academy pada 2017.
’’Aku di tempat yang notabene banyak laki-lakinya. Di dunia teknologi,” tuturnya saat dihubungi Jawa Pos Sabtu (4/3).
Pada tahun pertama Binar Academy, peserta programnya juga didominasi laki-laki. Proporsi perempuan yang mengikuti program hanya sekitar 10 persen. Namun, lambat laun, proporsi itu berubah. Kini, komposisi peserta perempuan sudah melonjak hingga 40–50 persen.
Tumbuh dalam keluarga yang sensitif gender, Ala tidak pernah membeda-bedakan manusia berdasar jenis kelaminnya. Dari kecil, orang tua membiarkan Ala memilih mainan yang dia sukai. Dia tidak pernah dibatasi untuk hanya menjamah mainan-mainan perempuan. ’’Saya waktu kecil suka main mobil-mobilan,” tuturnya.
Hingga dewasa, dia tidak pernah membeda-bedakan bidang pekerjaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, dia juga tidak membedakan peserta laki-laki dan perempuan dalam program-program Binar Academy. Semuanya terbuka untuk laki-laki dan perempuan. Namun, Ala sengaja menghadirkan banyak mentor atau narasumber perempuan. Dengan demikian, dia bisa menumbuhkan pesan bahwa perempuan pun mampu menginspirasi.
’’Hilangkan pemikiran, ’Oh ini bukan ranah perempuan, ini laki-laki’. Padahal, kita semua bisa melakukannya. Percaya saja,” terang Ala.
Dia menambahkan bahwa Binar Academy khusus menawarkan program yang berkaitan dengan digital skill. ’’Yang orang tahu (hanya mengajarkan) coding,” jelasnya. Padahal, ada pula keahlian lain yang ditawarkan. Misalnya, desain aplikasi dan manajemen produk. Konsepnya adalah pelatihan atau boot camp yang berlangsung sekitar 3–6 bulan. Pembelajaran dilakukan secara online. Pesertanya minimal sudah lulus SMA sederajat.
Gagasan untuk mendirikan Binar Academy muncul saat dia menjabat vice president of product Go-Jek. Pada 2014, dia membuat aplikasi Go-Jek dengan tim yang jumlahnya kurang dari lima orang. Setelah aplikasi besutan Nadiem Anwar Makarim itu meluncur pada 2015, Ala membutuhkan tim yang lebih besar karena perkembangannya begitu pesat.
’’Saya hire digital talent seperti software engineer, IU UX itu sulit banget. Bahkan, orang tidak tahu (kerjaan) itu apaan,” katanya. Mulai dari situ, Ala tergerak untuk menciptakan talenta digital sendiri. Sebab, belum banyak tersedia di pasar pencari kerja.
Ala punya visi untuk menjadikan Indonesia digital talent hub tingkat global. Kini, banyak alumnus Binar Academy yang bekerja di perusahaan berbasis IT di dalam maupun luar negeri. Sejak awal Ala mengaku suka dan ingin masuk ke dunia edukasi atau pendidikan.
’’Kenapa sekolah tidak membuat kita mencintai belajar,” tuturnya. Saat ini, faktanya belajar di sekolah malah membosankan. Kalau mendapatkan nilai jelek, akan langsung diejek. Bahkan, kadang orang tua sampai dipanggil ke sekolah. Menurut Ala, kondisi seperti itulah yang membuat para siswa kehilangan semangat belajar.