Kita bangga Persebaya menang. Namun yang lebih membanggakan adalah kembalinya tradisi lama, tradisi “tret tet tet”, yang sudah lama tak terdengar, sebuah tradisi “lama tapi baru” yang akan kita hidupkan lagi.”
—
Alhamdulillah, kita semua full senyum. Persebaya memetik tiga angka di kandang PSIS Semarang. Pertandingan seru, dan anak-anak Persebaya menunjukkan mentalitas khas arek-arek Suroboyo yang berjuang hingga detik-detik akhir. Tak ada kata menyerah sebelum peluit panjang ditiup wasit.
Saya sendiri larut dan ikut menikmati pertandingan itu dari tribun stadion. Super deg-deg-an saat PSIS dapat penalti di hampir ujung laga. Ernando Ari bikin kita jatuh hati. Kiper muda itu bikin penalti PSIS gagal.
Saat gol terakhir Persebaya dicetak Bryilian Aldama, saya refleks melompat kegirangan. Mohon maaf agak lepas kontrol. Lalu saya salami undangan di sekitar.
Kita bangga Persebaya menang. Namun yang lebih membanggakan adalah kembalinya tradisi lama, tradisi tret tet tet, yang sudah lama tak terdengar, sebuah “tradisi lama tapi baru” yang akan kita hidupkan lagi. Kita berangkat tret tet tet dari Balai Kota. Senang rasanya Balai Kota bisa menjadi rumah bagi Bonek.
Tradisi tret tet tet adalah tradisi era 1980-an, sebutan untuk pemberangkatan suporter Persebaya dari Surabaya secara terkoordinasi ke kota lain untuk mendukung Persebaya. Tret tet tet adalah bunyi terompet gas yang biasa dibawa suporter ke stadion.
Tradisi tret tet tet adalah tradisi awaydays dalam khazanah suporter sepak bola. Persebaya adalah pelopor tradisi ini secara massif di Indonesia. Saat itu Harian Jawa Pos mengawalinya dan mendapat dukungan penuh dari Pemkot Surabaya era Wali Kota Poernomo Kasidi, dan dilanjutkan Cak Narto.
Tradisi ini berdampak positif, karena dengan pergerakan massa dalam jumlah besar dari satu kota ke kota lainnya akan terpantau dan bisa dijaga. Kita tahu massa dalam jumlah besar berpotensi memunculkan gangguan, membuka celah terjadinya aksi-aksi yang melanggar hukum.
Melalui tradisi ini, kita meminggirkan orang-orang yang sengaja melakukan tindak kriminalitas dengan berkedok pendukung Persebaya. Melalui tret tet tet, kita menutup celah oknum suporter yang mengatasnamakan Bonek tapi sesungguhnya ingin mengambil keuntungan pribadi.
Selain itu, tret tet tet juga memberikan citra positif kepada Persebaya dan Kota Surabaya yang sudah identik sebagai salah satu sentra pembinaan sepak bola nasional. Saya mendukung dan memfasilitasi dihidupkannya kembali tradisi ini, sekaligus memberikan contoh kepada pihak-pihak lain untuk mendukung persepakbolaan kota ini.
Tret tet tet ke Semarang yang saya sebut “tradisi lama tapi baru” ini hanyalah awal dari keseriusan kita, agar arus besar dukungan ke Persebaya bisa semakin terkelola baik, kian tertib, dan bahkan menjadi role model (contoh yang baik) secara nasional.
Kita mendukung Persebaya dan Bonek untuk duduk bersama-sama membuat skema strategis dan transformatif untuk melanjutkan tradisi tret tet tet lebih baik dan lebih rapi lagi. Apa yang menjadi kelemahan tret tet tet kemarin harus menjadi pelajaran untuk langkah ke depan. Setidaknya kita sudah menunjukkan bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam menghidupkan kembali tradisi ini. Tidak ada yang sempurna, kecuali ikhtiar terus-menerus untuk mencapainya.
Matur nuwun untuk semua Bonek (dari perwakilan mana pun) yang mendukung hidupnya lagi tradisi tret tet tet ini. Matur nuwun telah menjaga nama baik Surabaya dan Persebaya.
Salam satu nyali, WANI!!!
*) Eri Cahyadi, Wali Kota Surabaya