JawaPos.com – Pendaftaran program Praktisi Mengajar angkatan 2 mendapat sejumlah keluhan di daerah. Diantaranya, soal sistem yang kerap berubah. Sebagai informasi, Praktisi Mengajar merupakan program yang diinisiasi Kemendikbudristek untuk mendorong kolaborasi aktif praktisi ahli dengan para dosen dalam mata kuliah yang disampaikan di ruang kelas. Tahun ini, pendaftaran telah dibuka sejak Februari 2023.
Kepala Pusat Pengembangan Pembelajaran Universitas Muhammadiyah Gorontalo Lia Nurhayati mengatakan, ada pergantian sistem yang kemudian berimbas pada sejumlah hal. Misal, pola pendaftaran. Pada tahun lalu, proposal yang disyaratkan untuk pendaftaran program ini dapat dilakukan oleh satu person in charge (PIC). Sehingga, dosen pengampu mata kuliah hanya cukup menyerahkan rencana pembelajaran semesternya (rps) untuk kemudian diupload.
“Sekarang, semua dosen pengampu harus kirim proposal masing-masing. Padahal lebih praktis sistem pertama,” ujarnya dalam acara press tour Kemendikbudristek di Gorontalo, Kamis (30/3).
Bukan hanya itu, pada pendaftaran kali ini jumlah praktisi kerap berubah. Hal ini berimbas pada sejumlah mata kuliah yang akhirnya gagal mendapat praktisi untuk diajak kerja sama. Menurutnya, di awal pendaftaran, nama praktisi tercantum dan lolos verifikasi. Kemudian, pihaknya pun telah berhasil match dengan praktisi yang dipilih.
Namun, tiba-tiba permintaan kerja sama direject lantaran nama praktisi mendadak hilang dari list program. “Yang awal Maret 12 ribu, jelang deadline 23 Maret, praktisi mengajarnya hanya berjumlah 8 ribu,” ungkapnya.
Lalu, lanjut dia, ketika dicoba mencari praktisi baru, tak ada praktisi yang sesuai dengan keilmuan yang dicari. Jumlah praktisi yang awalnya 12 ribu di awal Maret 2023, hanya tersisa 8 ribu saat jelang deadline penutupan 23 Maret 2023. Mau tak mau, dari 45 dosen yang mendaftarkan mata kuliahnya pada program praktisi mengajar, hanya 26 yang berhasil difinalisasi.
“Harusnya kan setelah pendaftaran selesai, nama praktisi dikunci terlebih dahulu. Setelahnya perguruan tinggi mendaftar dan memilih. Bukan masih dibuka dan kemudian bisa tiba-tiba hilang,” keluhnya.
Kini, pihaknya hanya bisa pasrah terhadap keputusan akhir nantinya. Padahal, diakuinya, praktisi mengajar memiliki banyak impact positif pada proses belajar mengajar dosen dan mahasiswa di kampus.
Hendra Adiko, salah satu dosen pengampu praktisi mengajar untuk prodi PGSD Universitas Muhammadiyah Gorontalo mengamini. Menurutnya, banyak hal baru yang diperoleh dari praktisi. “Mereka yang lebih tahu apa yang terjadi di lapangan. Kalau dosen kan kebanyakan materi,” ungkapnya.
Tahun lalu, ia mendapat praktisi dari salah pegawai Bappeda Jawa Timur. Dia menilai, sang praktisi sangat cakap dan menguasai hal-hal teknis lapangan yang dibutuhkan mahasiswa.
Sayangnya, kuliah yang hanya bisa dilakukan daring membuat mahasiswa agak kesulitan mengimplementasikan materi yang diberikan. Karenanya, guna mengatasi gap tersebut, Hendra meminta mahasiswanya terjun langsung ke lapangan. Mereka ditugaskan menggali masalah-masalah yang ada, terutama yang berhubungan dengan pengembangan pembelajaran.
“Sehingga kemudian bisa tercipta diskusi mendalam,” katanya.
Melihat kondisi ini, Hendra berharap, praktisi mengajar juga bisa dimaksimalkan dengan tatap muka secara langsung. Ia pun meminta agar praktisi dari lokal bisa diperbanyak lagi. Praktisi asli daerah asal juga akan memberikan gambaran real tantangan-tantangan di daerah tersebut. “Kami butuh praktisi dari daerah,” ungkapnya.
Harapan untuk bisa tatap muka dengan praktisi turut disampaikan Asma Isa, mahasiswa peserta kelas praktisi mengajar. Pertemuan melalui daring dirasanya kurang mumpuni untuk bisa menggali ilmu dari sang praktisi. “Karena madang kan terbatas waktu. Ketika mau bertanya sudah habis waktunya,” tuturnya.
Belum lagi urusan jaringan yang tak jarang naik turun. Hal ini tentu sangat menggangu proses belajar yang ia jalani. “Lebih bagus tatap muka,” pungkasnya.