JawaPos.com – Lembaga Sensor Film (LSF) merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan sensor pada film-film sebelum akhirnya ditayangkan. Sensor diperlukan bertujuan untuk melindungi masyarakat atas kemungkinan dampak negatif yang timbul dari sebuah tayangan film.
Ketua LSF Rommy Fibri Hardiyanto menegaskan bahwa lembaganya kininsudah mengubah pendekatan dalam proses sensor suatu film. Jika dulu pendekatannya main potong adegan yang dianggap sensitif atau dinilai akan membawa dampak negatif, saat ini lebih melihat konteks adegan dalam sebuah cerita film.
“Kalau filmnya tentang kriminalitas, memang harus ada adegan berantem atau pembunuhan. Kalau filmnya durhaka ke orang tua harus ada adegan membentak orang tua misalnya,” kata Rommy di bilangan Pancoran Jakarta Selatan, Kamis (30/3).
Selain itu, LSF mengedepankan dialog dengan produser atau pemilik film dalam proses sensor. Hal itu dimulai dengan menonton filmnya secara utuh baru kemudian mendiskusikannya.Jika ada adegan cukup sadis misalnya, bukan lantas menggunting adegan itu atau memburamkannnya. Tapi filmnya lebih diarahkan ke klasifikasi usia yang lebih sesuai dengan film itu.
“LSF bukan lagi menggunting seperti jaman dulu, tapi pendekatannya dialog. Yang pertama adalah mengklasifikasikan film ini usia 13 atau 17,” jelasnya.
Kebijakan sensor film yang lebih mengedepankan langkah dialogis dilakukan LSF untuk tujuan mendukung kemajuan perfilman Indonesia. Karena dengan pendekatan cuting malah akan menghilangkan rasa atau sensasi pada film itu sendiri.
“Kalau misalkan ada yang dianggap tidak cocok kita bisa diskusi. Bisa saja kita yang mengikuti pemilik film karena lebih tepat atau mereka yang ikut kita karena lebih sesuai,” paparnya.