JawaPos.com – Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto telah menyetujui rencana pembentukan markas Kodam untuk 38 Provinsi di Indonesia, termasuk di antaranya di Daerah Otonomi Baru (DOM) Papua.

Kebijakan penguatan postur militer matra darat tersebut berimula dari usulan yang disampaikan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurrachman dan berdasarkan pemberintaan di media juga telah disetujui oleh Panglima TNI Laksamana Yudo Margono.

Merespons hal itu, Ketua YLBHI, Muhammad Isnur mengatakan, dari segi penempatan, aparat TNI di Papua tidak hanya terdiri dari aparat organik, tetapi turut mencakup penempatan pasukan non-organik yang dilakukan hampir setiap bulan dengan jumlah mencapai ribuan.

“Riset YLBHI menemukan fakta bahwa terdapat kesamaan data antara penempatan pasukan dan pos-pos baru dengan wilayah pertambangan dan bisnis. Ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan besar, apakah penempatan pasukan ini merupakan bagian dari konflik agraria, konflik tambang, dan berbagai konflik lain yang terus membara di Papua,” ujar Isnur Diskusi Publik Imparsial.

Pertanyaan besar berikutnya, lanjut Muhammad Isnur yang kemudian muncul adalah apakah konflik-konflik yang berkepanjangan ini tidak sanggup untuk diselesaikan atau memang tidak mau diselesaikan. Karena hal itu juga turut berkorelasi dengan berbagai kasus-kasus besar yang menimpa masyarakat sipil, dimana aparat keamanan merupakan aktor kunci yang berada di belakangnya.

Selain itu, banyak aparat di lapangan yang melakukan “insubordinasi” dengan tugas-tugas di luar wilayah tugasnya yang telah ditentukan. Kondisi penempatan aparat militer di Papua sejauh ini telah banyak menimbulkan kerusakan dan ketegangan konflik.

“Sehingga penambahan Kodam justru akan semakin memperkeruh suasana,” ujar Isnur.

Sedangkan Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan, hari ini muncul banyak penolakan terhadap pembentukan Kodam untuk 38 provinsi tersebut, termasuk di Papua. Hal ini bukan tanpa alasan, melainkan didasari oleh berbagai aspek, baik sejarah, politik, maupun pertahanan.

“Pengalaman politik militer di tahun 1998 mengharuskan adanya restrukturisasi komando teritorial Angkatan Darat, dan reformasi institusi TNI tidak dapat dikatakan selesai jika restrukturisasi komando teritorial belum berjalan,” jelasnya.

Dalam konteks rencana pembentukan Kodam untuk 38 provinsi, lanjutGufron, hal ini menunjukkan adanya persoalan terkait dinamika hubungan antara sipil dan militer sejak tahun 1998. Sipil merasa inferior ketika berhadapan dengan militer, atau karena ada kepentingan politik pragmatis para politisi sipil sehingga kehendak militer diakomodasi dalam kebijakan oleh pemerintah.

Gufron juga menambahkan bahwa rencana pembentukan Kodam untuk 38 provinsi bertentangan dengan agenda reformasi TNI 1998 yang mengharuskan dilakukannya restrukturisaasi komando teritorial. Sebab Komando teritorial dinilai lebih memiliki muatan politik dari pada kebutuhan untuk penguatan pertahanan negara dan sarat dengan kepentingan ekonomi-bisnis.

“Meski hal ini bersifat lebih individual, bukan kebijakan. Namun, dalam konteks Papua, terdapat paradigma aspek keamanan yang belum berubah, dimana penanganan keamanan di Papua lebih menekankan pendekatan kekuatan,” jelasnya.

“Padahal, realitasnya tidak seperti itu, khususnya di Papua. Bukan keamanan yang dirasakan masyarakat Papua, melainkan ketidakamanan yang kian berlarut. Peningkatan postur TNI di Papua dengan pembentukan satuan tempur baru, justru akan menambah persoalan ketidakamanan masyarakat Papua,” pungkasnya.

By admin