DESA ADAT sebagai persekutuan hukum adat sudah ada sebelum bangsa Belanda ada di Indonesia. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indoensia keberadaan persekutuan hukum adat yang diberi sebutan Adatrechtsgemeenschappen diakui keberadaannya sebagai masyarakat tradisional, yaitu persekutuan yang tumbuh dan berkembang dari masyarakatnya sendiri bukan karena proses penetapan dari pemerintahan diatasnya.
Adalah relevan dengan sifat otonom dan otohton yang dimiliki desa adat. Sifat ini memang perlu diadaptasi dalam penguatan bukan untuk dijadikan objek mencari kantong-kantong suara melalui berbagai intervensi dengan dalih penguatan dan mencari popularitas untuk sebuah kekuasaan politik.
Desa adat selalu dihadapkan pada kekuasaan sejak masa pemerintahan kolonial Belanda, masa kemerdekaan, masa orda lama, orda baru, reformasi dan masa industri teknologi. Tidak mudah bagi desa adat yang didalamnya ada prajuru adat dan krama desa sebagai satu kesatuan dalam penyelengaraan pemerintahan desa adat yang dilandasi paruman sebagai kekuasaan tertinggi karena tantangan yang dihdapi semakin kompleks.
Awig-awig sebagai norma hukum yang mengikat para krama desa dalam hidup dan kehidupannya dan sebagai guidenline dalam mengukur dan memberikan standar tindakan dalam interaksi baik antar krama desa maupun dengan para outsider dibawah payung falsafah Tri Hitakarana.
Salah satu identitas hukum adat adalah “perbedaan”, sehingga implikasinya tiap desa adat memiliki hukum adatnya sendiri-sendiri dan cara bertindaknya juga diadaptasi mengikuti tempat, waktu dan kondisinya, yaitu relevan dengan konsep desa, kala dan patra yang ditemukan dan dikembangkan oleh Koesnoe (Guru Besar Ilmu Hukum Adat Indonesia).
Pemikiran teoritis berkenaan “Reciptio in Complexu” van den Berg dalam hukum adat Bali dapat diterima dengan baik, karena agama menjadi jiwa dari hukum adat. Sedang hukum adat (awig-awig) dan desa adat sebagai wadahnya, sehingga integrasi wadah dan jiwa ini melahirkan keseimbangan yang melahirkan falsafah Tri Hitakarana.
Falsafah sebagai nilai tidak pernah usang dan selalu bisa ajeg. Sangat berbeda dengan wadah atau badannya yang diwakili oleh prajuru adat dan krama desa dalam wadah organisasi tradisional yang disebut “Desa Adat”.
Istilah Desa Adat yang penetapanya dimulai dalam hukum negara (statute law) seperti Perda Bali 06 Tahun 1986, Perda 3 Tahun 2001 jo Perda 3 Tahun 2003 dan Perda 4 Tahun 2019 adalah sangat berbeda dengan istilah “Desa Adat” yang diatur dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Bali sejak terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 sebagai badai jilid I masih tetap mampu mempertahankan keberadaan Desa Adat yang bersifat otonom dan otohton. Jadi perlu disadari bahwa Bali yang memiliki dualitas dalam system pemerintahan desa, yaitu disatu sisi ada “pemerintahan Desa Dinas” dan disisi lain ada “Desa Adat” yang bercirikan tradisional yang adaptatif menjadi salah satu keunikan dan keunggulan Bali kalau mau disadari. Jadi memiliki karakternya sendiri sebagi pencirinya.
Keunikan dan keunggulan Bali ini diuji sejak adanya gerakan “Balinesering” dari Pemerintah Belanda 1920 yang ingin menjadikan desa adat yang disebut desa tradisional sebagai “museum hidup” yang secara politik mau membela Bali dari kehancuran akibat hubungannya dengan dunia luar, yaitu yang didukung melalui kebijakan yang berusaha mengembangkan kebudayaan Bali agar tampil lebih maju. Bentuk kebijakan ini adalah membangun kebudayaan Bali.
Oleh kelompok yang peduli dengan kebudayaan Bali dimanfaatkan untuk mengembangkan kebudayaan Bali terutama keseniannya seperti dibidang bangunan dengan ukirannya, tarian, tabuh, pakaian, sarana upacara dan upakara keagamaannya. Walaupun pemerintah Belanda ingin mengisolasi Bali dari hubungannya dengan dunia luar, dampaknya malah membawa Bali semakin terkenal, dan didatangi oleh pengunjung luar.
Dari segi pariwisata keadaan ini menguntungkan pemerintah colonial Belanda. Hasil itulah kemudian menjadi sarana promosi menarik wisatawan mancanegara pada masa pemerintah Hindia Balanda.
Apa yang dapat dicermati dari fenomena pada masa colonial ini, tidak lain adalah keberadaan “Desa Adat” dan integrasinya dengan “Agama Hindu dengan Hukum Adat (awig-awig)” dalam konsep “reciptio in complexu”. Tetapi keberadaan desa adat sejak dulu sampai sekarang selalu ada dalam pusaran kekuasaan, sehingga perlu untuk dikuatkan agar tidak menjadi hamba kekuasaan, tetapi tetap mandiri mereferensi sifat otonom dan otohtonnya agar dapat berjalan beriringan dengan kekuasaan dalam proses pembangunan dan tidak kehilangan karaternya sebagai identittas dirinya.
Dalam perspektif sifat dan corak hukum adat dapat dipergunakan dalam menemukan karakter hukum adat agar tidak salah langkah atau sesat ketika ingin melakukan penguatan. Adapun corak yang dimaksud, yaitu: magis religious berupa kepercayaan terhadap adanya mahluk halus, roh, kekuatan sakti yang menempati alam semesta yang dapat dimanfaatkan untuk menjaga lingkungan alamnya seperti mitios lelipis Lem Bukit dalam menjaga hutan adat di Tenganan Pegringsingan.
Kepercayaan ini juga mampu menjaga penebangan terhadap pohon-pohon besar karena dipercaya memiliki kekuatan sakti. Jadi dapat berfungsi konservasi. Persoalannya sekarang diperlukan strategi untuk memanfaatkan potensi lokal untuk mengaja kelestarian lingkungan dalam wilayah desa adat. Corak komunal yang diorientasikan untuk menguatkan kebersamaan dan tali kekeluargaan dalam wadah desa adat atau banjar, sehingga setiap perbuatan individu krama desa diorientasikan untuk menjaga nama baik desa atau banjar dan keluarga.
Bercorak kontan yang menghasilkan sistem hukum yang diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit, artinya dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, maka tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga.
Corak ini sangat relevan dengan “etikad baik” yang diperlukan sebagai dasar mengukur sah tidaknya perbuatan hukum dan hasilnya yang kemudian diwujudkan dalam sebauah ilikita, yaitu relevan dengan corak visual sebagai pantulan dari cara berpikir yang terwujud dalam hukum adat, yaitu bahwa dalam hal-hal tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksud, diingini ataupun dikehendaki ditransformir atau diberi wujud suatu benda atau ditetapkan dengan suatu tanda yang kelihatan.
Dalam perkembangan hukum saat ini dapat dipadankan dengan perbutan dalam bidang hukum perjanjian yang diorientasikan pada pengadministrasian kemauan para pihak dalam koridor hukum. Oleh karena itu, mafia atau perbuatan yang hanya berorientasi pada hasil sedini mungkin dapat dicegah.
Karakter hukum adat lainnya yang relevan adalah sifatnya yang konkret, supel, dan dinamis. Konkret dalam arti sangat memperhatikan setiap persoalan yang dihadapkan kepadanya sehingga setiap soal perlu mendapat perhatian yang khusus sesuai dengan individualitasnya. Pengaturannya tidak dibuat secara apriori, akan tetapi selalu situasional dan indivual. Dalam wawasan hukum adat tidak ada soal yang serupa sama. Setiap soal menuntut perlakuan tersendiri secara khusus dan tidak atas dasar aturan yang umum dan absrtak.
Hukum adat dinyatakan bersifat Supel, karena hukum adat dalam dirinya dibangun dengan asas-asas pokok saja. Soal yang detail diserahkan kepada pengolahan asas pokok itu dengan memperhatikan situasi, kondisi, dan waktu yang dihadapi.
Oleh karena itu sangat keliru ketika Perda yang dicanangkan untuk menguatkan desa adat dibuat rigid dan mengunifikasi perbedaan sebagai karakter hukum adat seperti Perda 4/2019. Dalam praktek hukum adat, tidak ada suatu soal yang tidak dapat dicari penyelesaiannya, karena hukum adat dapat mencari penyelesaian dengan tidak mempergunakan aturan detail yang pre-existen.
Bagi hukum adat cukup dengan adanya asas-asas pokok yang umum, yang pengisiannya diarahkan kepada sasaran: tercapai suatu masyarakat yang aman tenteram sejahtera, baik antara para pihak yang bersangkutan maupun masyarakatnya secara keseluruhan.
Dalam kerangka tujuan ini di dalam hukum adat dipertahankan suatu suasana di mana setiap konflik memperoleh penyelesaian yang tuntas, yaitu: suatu penyelesaian menyeluruh yang menjawab segala aspek yang ada dan yang mungkin di kemudian hari ada. Tidak ada soal tambahan di kemudian hari.
Yang dipentingkan dalam hukum adat dalam penyelesaian suatu soal adalah diperhatikannya asas “desa, kala, dan patra” (tempat, waktu, dan keadaan) dari suatu persoalan dalam usaha menerepkan asas kerja: rukun, patut, dan laras, yaitu sebagai fokus menemukan jawaban yang menjadi dasar pokok dalam persoalan yang dihadapi. Jadi setiap soal harus diperhatikan sepenuhnya tentang individualitasnya dalam kaitannya dengan tempat, waktu, dan keadaannya, sehingga hukum adat dinyatakan luwes atau supel.
Hukum adat bersifat dinamis, artinya hukum adat sebagai hukum rakyat, tidak ada suatu badan pembuatnya yang secara pasti ditetapkan untuk membuat peraturan baru pada setiap ada perubahan keadaan dan perubahan kebutuhan hukum. Sebagai hukum rakyat yang mengatur kehidupan yang terus berubah dan berkembang pembuatnya adalah krama desa melalu paruman.
Karena itu hukum adat yang terus menjalani perubahan melalui keputusan atau penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai hasil temu rasa dan temu pikir melalui permusyawaratan dalam paruman, sehingga setiap perkembangan yang terjadi selalu diusahakan mendapat tempatnya di dalam tata hukum adat. Hal lama yang tidak dapat dipakai lagi, secara tidak mencolok akan diubah atau ditinggalkan.
Oleh karena itu upaya pengadministarian secara berlebihan dengan meng-copy paste pola pemerintahan Desa Dinas menjadi keliru, sehingga kasus sengketa “ngadegang prajuru” yang dintervensi dari atas seperti MDA semakin hari menjadi semakin banyak karena menyimpangi karakter hukum adat.
Untuk itu diperlukan model pengadministrasian dalam penetapan fungsi hukum secara tepat berdasarkan kajian yang matang bukan atas dasar pemikiran yang apriori. Semoga karateriritik hukum adat selalu menjadi referensi dalam penyusunan hukum negara dalam bentuk Perda dan dalam pelaksanaannya dapat dikoeksistensikan.
*) Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar Bali Indonesia
Email: madesuwitra27@gmail.com