JawaPos.com–Bulan ini menjadi momen spesial untuk membangun awareness terhadap epilepsi. Tiap 26 Maret, dunia memperingati hari epilepsi.
Berdasar data yang ditelusuri dari laman website kementerian kesehatan, estimasi jumlah pasien epilepsi di Indonesia sekitar 1,5 juta orang (secara nasional). Dengan prevalensi 0,5-0,6 persen dari penduduk Indonesia.
Dokter spesialis bedah saraf di National Hospital Heri Subianto mengatakan, gejala umum penderita epilepsi yakni kejang-kejang. Namun, ketika ada orang yang mengalami kejang belum tentu mengidap epilepsi.
”Karena faktor penyebab kejang itu banyak. Seperti trauma benturan atau tumor di kepala. Apabila kejang terjadi kepada anak, penyebab paling umum yakni mereka lahir secara prematur dan terlahir dengan kelainan otak. Akan tetapi, penyebab utama epilepsi adalah pola aktivitas listrik tidak normal di otak,” terang Heri Subianto pada talk show Epilepsi: Kawan atau Lawan bersama Arvin Widiawan, penyintas epilepsi.
Menurut dia, usia pasien epilepsi tergolong beragam. Mulai dari balita hingga usia 50 tahun ke atas. Heri menyatakan, tidak jarang, masyarakat awam masih beranggapan jika epilepsi merupakan penyakit gangguan mental, kutukan, dan bisa sembuh sendiri.
Lantas, bagaimana penanganan medis untuk pasien epilepsi? Pertama, kata Heri, pasien perlu konsultasi terlebih dulu dengan dokter. Setelah itu, pasien butuh skrining untuk mengetahui penyebab epilepsi. Skrining itu melalui MRI, EEG, dan PET Scan.
”Skrining dilakukan atas saran dari dokter dan melihat kondisi pasien. Sangat penting, pasien mempunyai catatan/histori terjadi kejang. Sebab, catatan itu menjadi bahan evaluasi dari dokter yang menangani,” jelas Heri.
Selain itu, histori tersebut bakal dijadikan sebagai penentu jenis/tipe kejang pasien. Setelah ditemukan jenis/tipe kejang, dokter akan menentukan terapi yang tepat bagi pasien.
Heri menyampaikan, biasanya, terapi pertama diawali dengan pemberian obat-obatan anti epilepsi. Kemudian, kondisi pasien dievaluasi, apakah kejangnya terkontrol atau tidak. Nah, jika kejang tidak terkontrol, pasien direkomendasikan untuk tindakan operasi.
”Di National Hospital tersedia layanan khusus epilepsi. Yakni, Epilepsi Center (Epic). Diresmikan sejak tahun lalu, Epic menjadi fasilitas penanganan epilepsi secara komprehensif di Indonesia. Adapun fasilitas Epic di Nathos memiliki MRI 3 TESLA dengan protokol khusus,” papar Heri.
Meski ada operasi, Heri mengungkapkan, tidak semua pasien yang datang lantas dioperasi. Dia menilai lebih kurang 600 orang yang berobat hanya 3 persen dioperasi.
”Menggunakan obat-obatan ternyata bisa terkontrol dan sembuh,” ucap Heri.
Sebetulnya, Heri menegaskan, paling penting dari pengawasan untuk pasien epilepsi adalah konsumsi obat. Dia menyampaikan, obat kejang harus rutin diminum. Dia memastikan jika obat kejang itu tidak merusak atau menghambat pertumbuhan otak pasien.