”STOP! Sampean semua mau ke mana?” Begitu ucap Ustad Ahmad Roziq yang menegur rombongan pengunjung dari Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Jumlahnya sekitar 40 orang.
Mereka hendak memasuki Masjid Aschabul Kahfi, Gedongombo, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Kemudian, mau nyelonong masuk ke gua: lokasi Ponpes Perut Bumi Al Maghribi.
”Jangan turun dulu. Sebelum turun ke perut bumi, semua wajib melakukan tawasul. Nggak boleh kelewatan,” kata Roziq yang merupakan salah satu pengurus Masjid Aschabul Kahfi pada Minggu (19/3) pekan lalu.
Tawasul adalah sarana mendekatkan diri kepada Allah. Roziq kemudian memimpinnya. Lantunan doa terdengar merdu. Doa khusus juga dipanjatkan untuk beberapa sosok penting. Dimulai dari Syekh Maulana Maghribi, Mbah Ayu Sendangharjo, sampai Kiai Subhan Mubarok.
Setelah tawasul, Roziq menjelaskan siapa tiga sosok itu. Syekh Maulana Maghribi adalah sosok paling penting dalam sejarah Masjid Aschabul Kahfi dan Ponpes Perut Bumi. ”Dulu lokasi ini adalah gunung berkumpulnya demit dan setan. Ulama sulit menyebarkan Islam di Tuban. Kemudian, Wali Sanga mengadakan musyawarah,” bebernya.
Wali Sanga sepakat memanggil Syekh Maulana Maghribi yang berasal dari Mesir. ”Gunung ini lalu ditungkak sampai ambles dan menjadi gua,” ungkapnya.
Setelah itu, gua diwariskan ke Mbah Ayu Sendangharjo, sosok terpandang di kawasan tersebut. Gua itu dijaga sampai dipakai untuk bertapa. ”Beliau bertapa sampai raga atau tubuhnya hilang. Istilahnya, topo tanpa rogo,” jelas Roziq.
Lalu, apa hubungannya dengan Kiai Subhan Mubarok? Pada awal 2000, gua tersebut dipenuhi sampah. Jadi tempat pembuangan. Namun, Subhan tahu di sana ada petilasan Mbah Ayu Sendangharjo. Dia kemudian mengumpulkan santrinya. Membersihkan sampah yang ada di atas gua.
”Pesan Pak Kiai Subhan saat itu, sampah yang diambil tidak boleh dibakar. Butuh waktu 18 bulan agar gua benar-benar bersih,” kenang pria asli Tuban tersebut.
Setelah bersih, dibangunlah Ponpes Perut Bumi Al Maghribi. Nama itu diambil dari nama Syekh Maulana Maghribi: sosok yang mengubah gunung menjadi gua. Gua tersebut kemudian dibangun.
Kiai Subhan juga menemukan sumber air di kedalaman 67 meter. Air yang sampai saat ini tidak pernah surut. Setelah gua dan sumber air ditemukan, dibangunlah masjid tepat di atas gua. Pada 2002, Masjid Aschabul Kahfi dan Ponpes Perut Bumi Al Maghribi resmi dibuka.
Untuk menuju Ponpes Perut Bumi, harus melewati Masjid Aschabul Kahfi. Ukurannya tidak besar. Hanya 80 meter persegi. Ada 16 tiang penyangga besar. Tinggi atap cuma 3 meter. Namun, di sisi utara, ada lompongan kecil. Itu adalah jalan menuju Ponpes Perut Bumi Al Maghribi.
Setelah tawasul, rombongan tadi, termasuk Jawa Pos, diizinkan turun. Ada sekitar 30 anak tangga yang harus dilalui untuk turun ke bawah. Begitu sampai, nuansa gua masih sangat terasa. Stalaktit dijadikan atap dan sisi kiri kanan gua sudah dicat warna emas. Lalu, tiang-tiang penyangga diberi warna menyala seperti merah dan hijau.
Di ruang utama, ada aula besar. Lebih mirip masjid. Lalu, ada tiang-tiang besar yang menyangga. ”Biasanya, ruangan ini dipakai untuk salat berjemaah, baik oleh pengunjung maupun santri,” ungkap Roziq.
Namun, saat Jawa Pos berkunjung (19/3), ruangan basah kuyup. Lantai dipenuhi air. Stalaktit di atas meneteskan banyak air. ”Ini karena masih sering hujan,” ujarnya.
Ruangan yang seharusnya ramai kini sepi. Gelap gulita. Lampu warna-warni yang biasanya menyala dari tiang penyangga sudah tidak terlihat. ”Kami sengaja mematikan lampu dan semua aliran listrik di ruangan ini. Karena kalau nyala, takutnya ada yang korslet,” jelas Roziq.
Tidak jauh dari situ, ada petilasan Mbah Ayu Sendangharjo. Lalu, ada pula sumber air dengan kedalaman 67 meter. Rombongan yang datang berebut mengambil air. Untuk sekadar berwudu atau cuci muka.
”Mudah-mudahan air ini membawa berkah. Saya percaya sumber air ini memiliki khasiat. Tapi, semua tetap dikembalikan kepada Allah,” tutur Ana Nurcahyo, salah seorang anggota rombongan yang berkunjung.
Hampir setiap hari selalu ada rombongan yang datang ke Masjid Aschabul Kahfi. Kunjungan paling banyak saat menjelang Ramadan. Mereka melakukan tawasul, kemudian salat di perut bumi. Rata-rata pengunjung adalah para peziarah makam Sunan Bonang yang juga berada di Tuban yang cuma berjarak sekitar 2 kilometer.